JAKARTA – Membatalkan wudhu sering menjadi pertanyaan ketika seseorang harus menyentuh sesuatu yang dianggap sensitif dalam syariat. Salah satu yang banyak ditanyakan para orang tua, khususnya ibu, adalah saat membersihkan anak kecil mereka. Pendahuluan Banyak orang tua, khususnya para ibu, yang harus membersihkan anak kecil mereka dan tak jarang harus menyentuh kemaluan si kecil ketika mengganti pakaian atau membersihkan najis. Muncul pertanyaan penting: Apakah karena menyentuh kemaluan anaknya membatalkan wudhu? Para ulama memiliki perbedaan pendapat dalam hal ini, dan berikut penjelasan ringkasnya berdasarkan pendapat ulama klasik maupun kontemporer. Pendapat Pertama: Menyentuh Kemaluan Anak Membatalkan Wudhu Sebagian ulama berpendapat bahwa menyentuh kemaluan anak membatalkan wudhu, sebagaimana menyentuh kemaluan orang dewasa. Ibnu Qudamah رحمه الله berkata: ولا فَرْقَ بين ذَكَرِ الصغيرِ والكبيرِ. وبه قال عَطَاء، والشَّافِعِيُّ، وأبُو ثَوْر“Tidak ada perbedaan antara kemaluan anak kecil dan orang dewasa. Ini adalah pendapat ‘Atha’, Asy-Syafi’i, dan Abu Tsaur.” (Al-Mughni, 1/243) Kalimat ini menyatakan bahwa hukum menyentuh kemaluan berlaku sama baik untuk anak kecil maupun orang dewasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (اللجنة الدائمة للإفتاء). Ketika ditanya tentang seseorang yang menyentuh kemaluan anak saat mengganti pakaian, mereka menjawab: “Menyentuh kemaluan tanpa penghalang membatalkan wudhu, baik kemaluan itu milik orang dewasa maupun anak-anak. Karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.’ Maka kemaluan yang disentuh hukumnya sama seperti kemaluan yang menyentuh.” (Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 5/286) Pendapat Kedua: Tidak Membatalkan Wudhu Pendapat kedua menyatakan bahwa menyentuh kemaluan anak kecil tidak membatalkan wudhu. Ibnu Qudamah juga mencatat pendapat ini: وعن الزُّهْرِيِّ، والأَوْزَاعِيِّ: لا وُضُوءَ علَى مَنْ مَسَّ ذَكَرَ الصَّغيرِ؛ لأنَّه يجوزُ مَسُّه، والنَّظَرُ إليه“Az-Zuhri dan Al-Auza’i berpendapat: tidak wajib wudhu bagi orang yang menyentuh kemaluan anak, karena diperbolehkan menyentuh dan melihatnya.” (Al-Mughni, 1/243) Demikian juga dengan fatwa dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله. Beliau ditanya: Apakah menyentuh kemaluan dengan tangan kanan membatalkan wudhu? Beliau menjawab: “Pendapat yang lebih kuat menurut saya adalah: Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, kecuali jika disertai syahwat, maka itu membatalkan wudhu. Dan jika yang disentuh adalah kemaluan orang lain, maka hukumnya sama. Berdasarkan hal ini, jika seorang wanita membersihkan anaknya dan menyentuh kemaluannya, maka wudhunya tidak batal.” (Liqa’ al-Bab al-Maftuh, 1/30) Pendapat yang Lebih Kuat Pendapat yang lebih kuat—dan dipandang lebih ringan dalam praktik sehari-hari—adalah tidak batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan anak, selama tidak disertai syahwat. Karena pendapat ini lebih mengkompromikan antara dua hadis yang tampak bertentangan, yaitu hadis dari Busroh binti Shofwan: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” [1] Dan hadis dari Tholq bin ‘Ali, di mana ada seseorang yang mendatangi Rasulullah ﷺ lalu bertanya: مَسِسْتُ ذَكَرِى أَوِ الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ قَالَ « لاَ إِنَّمَا هُوَ مِنْكَ » “Aku pernah menyentuh kemaluanku atau seseorang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia diharuskan untuk wudhu?” Nabi ﷺ menjawab, “Kemaluanmu itu adalah bagian darimu.” [2] Hal ini juga lebih relevan dengan kondisi para ibu yang setiap hari menghadapi hal ini, dan termasuk ‘umum al-balwa (hal yang sering terjadi dan sulit dihindari). Penutup Masalah ini adalah persoalan fiqhiyyah yang memang diperselisihkan oleh para ulama. Namun, demi kemudahan dan sesuai prinsip Islam yang memudahkan dalam kondisi yang berat dan sering terjadi, maka pendapat yang menyatakan tidak batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan anak kecil lebih kuat. Namun, jika seseorang ingin tetap berwudhu sebagai sikap kehati-hatian, maka itu lebih baik dan lebih selamat biidznillah. Wallahu a’lam. Ditulis Oleh: Abu Utsman Surya Huda Aprila [1] (HR. Abu Daud no. 181, An Nasa-i no. 447, dan At Tirmidzi no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)[2] (HR. Ahmad 4/23. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan) https://www.youtube.com/watch?v=TuJBtbbaNMQ
7 ALASAN KUAT MENGAPA JIMAT DARI AYAT AL-QUR’AN HUKUMNYA HARAM
JAKARTA – Jimat dari ayat Al-Qur’an masih diyakini sebagian orang mampu melindungi dari gangguan, penyakit, atau kesialan. Mereka beranggapan bahwa karena bersumber dari kalamullah, maka pasti dibolehkan dalam syariat. Namun, benarkah keyakinan ini sesuai dengan dalil yang sahih dan penjelasan para ulama? Pendahuluan Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, rahmat bagi seluruh alam, juga kepada keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau hingga Hari Kiamat. Amma ba’du. Masalah penggunaan jimat (tamimah) yang terbuat dari ayat Al-Qur’an, nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, hadis Nabi ﷺ, atau doa-doa yang dibolehkan telah menjadi perbincangan di kalangan para ulama salaf. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat yang cukup dikenal: Dua Pendapat di Kalangan Salaf Soal Jimat dari Ayat Al-Qur’an 1. Pendapat yang Membolehkan Sebagian sahabat seperti Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash dan lainnya membolehkan penggunaan jimat dari ayat Al-Qur’an atau doa-doa yang syar’i. Mereka menafsirkan sabda Nabi ﷺ: إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ “Sesungguhnya ruqyah, jimat, dan tiwalah adalah syirik.” [1] Mereka memahami bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada jimat yang mengandung unsur syirik, seperti tulisan selain bahasa Arab yang tidak dipahami maknanya atau jimat yang diyakini memiliki kekuatan tersendiri. 2. Pendapat yang Melarang Secara Mutlak Jimat dari Ayat Al-Qur’an Sebaliknya, sahabat lain seperti Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas serta para pengikut mereka melarang jimat secara mutlak, termasuk jimat dari ayat Al-Qur’an. Ibrahim An-Nakha’i berkata: كانوا ـ أي: أصحابُ ابنِ مسعودٍ رضي الله عنه ـ يكرهون التَّمائمَ كُلَّها، مِنَ القرآن وغيرِ القرآن“Para sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu membenci semua bentuk jimat, baik dari Al-Qur’an maupun selainnya.” [2] Dan pendapat ini yang lebih kuat dan merupakan pandangan mayoritas ulama, berdasarkan beberapa alasan berikut: Alasan Kuat Larangan Jimat dari Ayat Al-Qur’an 1. Tidak Diketahui dari Nabi ﷺ Tidak diketahui bahwa Nabi ﷺ pernah menggantungkan jimat dari ayat Al-Qur’an atau menganjurkan hal tersebut, padahal kebutuhan untuk melindungi diri dari gangguan setan, ‘ain, atau bahaya lainnya sudah ada sejak zaman beliau. Padahal Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca dan diamalkan, bukan untuk digantung di leher, dinding, atau tempat lainnya. Pelindung yang benar dari gangguan syaitan adalah membaca Al-Qur’an, seperti sabda Nabi ﷺ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، لَنْ يَزَالَ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ“Jika engkau berbaring di tempat tidurmu, bacalah Ayat Kursi, maka senantiasa akan ada penjaga dari Allah bersamamu dan syaitan tidak akan mendekatimu hingga pagi.” [3] 2. Termasuk Ibadah yang Tidak Ada Dalilnya Menggantung jimat dari ayat Al-Qur’an termasuk dalam bentuk permohonan atau isti’adzah, yaitu ibadah, dan hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang membolehkannya. 3. Hadis-Hadis Larangan Bersifat Umum Hadis-hadis yang melarang jimat datang dengan lafal umum, tidak ada satu pun hadis shahih yang secara tegas mengecualikan jimat dari ayat Al-Qur’an. Maka, hukum umum tidak boleh dikecualikan tanpa dalil khusus. 4. Bersikap Hati-Hati Lebih Selamat Hukum penggunaan jimat dari ayat Al-Qur’an masih diperselisihkan antara halal dan haram, dan sikap hati-hati (ihtiyath) dalam agama adalah dengan meninggalkan hal yang meragukan, terutama dalam urusan ibadah. 5. Berpotensi Menimbulkan Penghinaan terhadap Al-Qur’an Jimat dari ayat Al-Qur’an dapat berujung pada penghinaan terhadap kesucian Al-Qur’an, seperti dibawa ke kamar mandi, diletakkan sembarangan, atau dipakai saat tidur dan kegiatan lain yang tidak pantas. 6. Membuka Celah pada Jimat Syirik Jika dibolehkan jimat dari ayat Al-Qur’an, maka orang-orang yang menyembunyikan jimat syirik dapat bersembunyi di balik klaim bahwa jimat mereka berasal dari Al-Qur’an. Apalagi biasanya jimat dibungkus dan tidak diketahui isinya. 7. Menjadikan Hati Bergantung kepada Jimat Menggantung jimat akan menyebabkan hati bergantung kepada benda tersebut, sehingga seseorang bisa jadi melalaikan doa, zikir, dan bacaan Al-Qur’an, yang justru merupakan pelindung yang disyariatkan. Ada perbedaan besar antara menyimpan mushaf tanpa dibaca dan orang yang membaca serta mengamalkan isi mushaf. Kesimpulan Berdasarkan pertimbangan dalil, kaidah syar’i, dan kehati-hatian dalam akidah, maka pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah: Wajib meninggalkan penggunaan jimat, baik dari ayat Al-Qur’an maupun selainnya, dan menggantinya dengan ruqyah syar’iyyah, yaitu membaca Al-Qur’an, doa-doa yang diajarkan Nabi ﷺ, dan zikir-zikir yang disyariatkan. Wallahu A’lam. Ditulis Oleh: Abu Utsman Surya Huda AprilaDiringkas dari: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-1332 [1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitab Ath-Thibb, Bab Fi Ta‘liq At-Tama’im (no. 3883); Ibnu Majah dalam Kitab Ath-Thibb, Bab Ta‘liq At-Tama’im (no. 3530); dan Ahmad dalam Musnad-nya (no. 3615), dari hadis Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (no. 331, 2972) dan Shahih Al-Jami‘.[2] Diriwayatkan dengan lafal ini oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (no. 23467).[3] HR.Al-Bukhari no 5010 https://www.youtube.com/watch?v=7M_MSaYJgHU&t=1s
HUKUM MENIKAH ATAU MELAMAR di BULAN MUHARRAM
JAKARTA – Menikah atau melamar di bulan Muharram dianggap sebagian masyarakat harus dihindari karena sejumlah hal. Salah satu keyakinan yang tersebar adalah larangan menikah atau melamar di bulan Muharram karena dianggap bulan duka. Benarkah keyakinan ini sesuai dengan ajaran Islam? Pendahuluan Bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender hijriyah sekaligus termasuk salah satu dari empat bulan haram (bulan yang dimuliakan dalam Islam). Sebagian orang memiliki anggapan bahwa menikah atau melamar di bulan Muharram adalah sesuatu yang makruh atau bahkan terlarang, terutama karena bertepatan dengan peristiwa kesedihan seperti tragedi Karbala. Benarkah demikian menurut syariat Islam? Berikut penjelasan ilmiah berdasarkan kaidah dan dalil-dalil syar’i: 1. Hukum Asal: Boleh Menikah atau Melamar di Bulan Muharram Tidak ada larangan dalam Al-Qur’an maupun hadis yang melarang menikah atau melamar di bulan Muharram. Oleh karena itu, hukum asalnya adalah boleh. Kaedah fikih menyatakan: أن الأصل في العادات والأفعال الإباحة ، ما لم يرد دليل التحريم“Asal hukum perkara muamalah dan adat adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang melarangnya.” Selama tidak ada dalil dari Al-Qur’an, sunnah, ijma’, atau qiyas yang menunjukkan keharaman atau kemakruhan menikah di bulan Muharram, maka pernikahan tetap sah dan dibolehkan. 2. Tidak ditemukan ulama yang melarangnya Para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, para imam mazhab, hingga ulama masa kini tidak ada yang melarang atau memakruhkan pernikahan di bulan Muharram. Maka setidaknya, telah terjadi kesepakatan bahwa menikah di bulan Muharram tidak mengapa. Barang siapa yang mengharamkan tanpa dalil, maka ia telah berbicara dalam agama tanpa ilmu. Ini adalah hal yang sangat tercela dalam syariat Islam. 3. Bulan Muharram adalah Bulan yang Dimuliakan Sebaliknya, bulan Muharram justru termasuk bulan yang penuh keutamaan. Nabi ﷺ bersabda: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim no. 1163) Allah sendiri menisbatkan bulan ini kepada-Nya dengan menyebutnya “Syahrullah” (Bulan Allah), menandakan kemuliaan dan keutamaannya. Maka, lebih layak bagi kita berharap berkah dari bulan ini, bukan malah merasa sial atau menghindari pernikahan di dalamnya. 4. Menjawab Klaim Pelarangan Karena Tragedi Karbala Sebagian kelompok seperti Syiah Rafidhah melarang pernikahan di bulan Muharram karena mengenangnya sebagai bulan duka atas wafatnya Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Mereka memperingatinya dengan ritual kesedihan, larangan bergembira, dan bentuk-bentuk tradisi yang tidak dikenal dalam Islam. Menanggapi hal ini, kita katakan: Tidak diragukan bahwa wafatnya Husain adalah tragedi besar, tetapi syariat tidak mengajarkan memperingati hari kematian siapapun secara tahunan. Jika setiap hari wafatnya ulama, sahabat, atau keluarga Nabi harus diratapi dan dijadikan hari duka, maka tidak akan tersisa hari untuk bersenang-senang dan menikah. Bahkan, hari wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan musibah terbesar bagi umat Islam, tidak pernah diperingati secara rutin dengan larangan nikah atau kebahagiaan. Maka mengharamkan nikah atau melamar di bulan Muharram karena alasan duka tahunan adalah bid’ah dan menyelisihi ajaran Islam yang sempurna. 5. Fakta Sejarah: Pernikahan Ali dan Fatimah Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah binti Rasulullah ﷺ terjadi di awal tahun ketiga Hijriyah. Artinya, sangat mungkin terjadi pada bulan Muharram atau dekat dengannya. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: نقل البيهقي عن كتاب “المعرفة” لأبي عبد الله بن منده ، أن عليا تزوج فاطمة بعد سنة من الهجرة ، وابتنى بها بعد ذلك لسنة أخرى ، قلت فعلى هذا يكون دخوله بها في أوائل السنة الثالثة من الهجرة “Al-Baihaqi meriwayatkan dari kitab Al-Ma‘rifah karya Abu ‘Abdillah Ibnu Mandah bahwa Ali menikahi Fathimah setelah satu tahun dari hijrah, dan ia mulai hidup serumah dengannya (membangun rumah tangga) satu tahun setelahnya. Saya (Ibnu Katsir) berkata: Maka berdasarkan hal itu, berarti Ali masuk (hidup serumah) dengannya di awal tahun ketiga hijrah.”(Lihat: Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 5/310) Ini menjadi dalil kuat bahwa menikah di bulan Muharram adalah perkara yang biasa dan tidak diingkari oleh para sahabat maupun keluarga Nabi ﷺ sendiri. Kesimpulan Menikah dan melamar di bulan Muharram adalah hal yang boleh dan tidak makruh, apalagi haram. Tidak ada dalil dalam syariat yang melarangnya. Bulan Muharram adalah bulan yang penuh keutamaan, dan patut diisi dengan amal-amal kebaikan, termasuk pernikahan. Larangan menikah karena alasan duka seperti peristiwa Karbala adalah tradisi yang tidak berdasar dalam Islam dan termasuk bentuk bid’ah. Wallahu a’lam. Ditulis Oleh: Abu Utsman Surya Huda AprilaDiringkas dari: https://islamqa.info/ar/answers/193281/ما-يشاع-من-كراهية-النكاح-في-شهر-الله-المحرم https://www.youtube.com/watch?v=lwalbN-OTQ8
HUKUM MENGGUNAKAN JIMAT DARI AL-QUR’AN
JAKARTA – Jimat dari Al-Qur’an masih diyakini sebagian masyarakat sebagai sarana perlindungan, penolak bala, atau pembawa keberuntungan. Mereka beranggapan bahwa karena bersumber dari kalamullah, maka tentu boleh dipakai. Padahal, masalah ini telah dibahas oleh para ulama dan tidak bisa diputuskan hanya berdasarkan kebiasaan atau prasangka. Sebagian orang membuat jimat dari Al-Qur’an dengan menulis ayat-ayat tertentu pada kertas, kain, atau benda lalu digantungkan pada anak kecil, rumah, bahkan kendaraan. Mereka beralasan hal itu seperti membaca Al-Qur’an sebagai doa. Namun, para ulama berbeda pendapat karena ada hadits-hadits umum yang melarang segala bentuk jimat. Karena itu, penting bagi kita untuk memahami penjelasan yang benar. Apakah benar jimat dari Al-Qur’an dibolehkan? Ataukah tetap termasuk dalam larangan umum tentang jimat yang dapat mengantarkan pada kesyirikan? Berikut penjelasan para ulama terkait masalah ini. Berikut Penjelasan Hukum Menggunakan Jimat dari Al-Qur’an: Soal: Apa hukumnya menggunakan jimat dari Al-Qur’an atau yang lainnya? Jawaban: Adapun menggunakan jimat yang terbuat dari rambut, tulang belulang, dan sebagainya maka ini dilarang secara nash, tidak boleh digantungkan ke leher anak kecil, sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ bersabda: مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلَا أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلَا وَدَعَ اللَّهُ لَهُ “Barangsiapa menggantungkan Tamimah (jimat) niscaya Allah tidak akan menyempurnakannya untuknya. Dan barangsiapa menggantungkan Wada’ah (sejenis rumah kerang/siput) maka Allah akan menelantarkannya baginya.” (HR Ahmad) Adapun jika jimat terbuat dari tulisan-tulisan Al-Qur’an maka padanya terdapat perselisihan para ulama. Sebagian di antara para ulama ada yang membolehkannya dan mereka memandang bahwasannya itu bagaikan bacaan dari Al-Qur’an kepada orang sakit. Sebagian yang lain mengharamkannya, inilah yang ma’ruf dari pendapat Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman radhiallahu ‘anhuma dan jamaah dari kalangan salaf. Mereka katakan bahwasannya ini dilarang agar menutup pintu ke arah kesyirikan, yaitu memakai jimat selain dari Al-Qur’an. Hadits-hadits yang berbicara tentang jimat juga lafaznya umum, tidak dikhususkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Maka kita wajib untuk melarang jimat dari Al-Qur’an atau selainnya. Inilah pendapat yang dibenarkan. (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz 1/51)Dijawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahAlih Bahasa: Gilang Malcom Habiebie https://www.youtube.com/watch?v=PlGs30Ooxx8