JAKARTA – Sujud sahwi dalam shalat adalah salah satu bentuk rahmat Allah yang disyariatkan untuk menutupi kekurangan dan kesalahan yang terjadi tanpa sengaja. Dalam praktik shalat, tidak jarang seseorang lupa menambah, mengurangi, atau ragu terhadap rakaatnya. Maka, Islam memberikan solusi praktis agar ibadah tetap sah dan sempurna meskipun ada kekhilafan. Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah ﷺ. Amma ba’du: Makna dan Hukum Disyariatkannya Sujud Sahwi Di antara rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan termasuk kesempurnaan agama Islam, adalah disyariatkannya cara untuk menutupi kekurangan dan kesalahan yang tidak disengaja dalam ibadah. Karena manusia tidak mampu melaksanakan ibadah secara sempurna tanpa cela, maka Allah memberikan jalan untuk menambal kekurangan tersebut—baik dengan ibadah sunnah, istighfar, dan lainnya. Salah satu bentuk penutup kekurangan dalam shalat adalah sujud sahwi. Namun, penting untuk diketahui bahwa sujud sahwi tidak disyariatkan untuk setiap kekurangan, melainkan hanya untuk hal-hal tertentu saja. Sebab-Sebab Sujud Sahwi Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin رحمه الله menjelaskan bahwa secara umum, sujud sahwi disyariatkan karena tiga hal: Penambahan (الزيادة) Pengurangan (النقص) Keraguan (الشك) 1. Contoh Penambahan dalam Shalat Penambahan seperti melakukan rukuk, sujud, berdiri, atau duduk lebih dari yang seharusnya. Jika dilakukan dengan sengaja, maka shalat menjadi batal, karena dilakukan tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Nabi ﷺ bersabda: من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak.”(HR. Muslim no. 1718) Jika dilakukan karena lupa, maka shalat tetap sah, namun sujud sahwi dilakukan setelah salam. Dalilnya: Hadis Ibnu Mas’ud bahwa Nabi ﷺ pernah shalat lima rakaat. Setelah dikatakan bahwa beliau shalat lima rakaat, beliau sujud sahwi setelahnya. (HR. Bukhari no. 404, Muslim no. 572) 2. Contoh Pengurangan dalam Shalat Jika yang dikurangi adalah rukun: Jika diingat sebelum masuk ke posisi yang sama pada rakaat berikutnya, maka wajib kembali ke rukun tersebut dan melanjutkan shalat, lalu sujud sahwi setelah salam. Contoh: Lupa sujud kedua di rakaat pertama dan baru ingat saat membaca Al-Fatihah. Maka dia kembali sujud kedua, lanjutkan rakaat seperti biasa, dan sujud sahwi setelah salam. Jika baru ingat saat berada di posisi yang sama di rakaat berikutnya, maka rakaat sebelumnya dianggap batal, dan rakaat sekarang menggantikannya. Dia lanjutkan shalat dan tambahkan satu rakaat di akhir, lalu sujud sahwi setelah salam. Jika yang dikurangi adalah wajib shalat: Seperti lupa bacaan Subhana Rabbiyal A‘la saat sujud, dan baru ingat setelah bangkit. Maka tidak perlu mengulang, cukup lanjutkan shalat dan sujud sahwi sebelum salam. Ini berdasar perbuatan Nabi ﷺ ketika lupa membaca tasyahhud awal, beliau tidak kembali, namun sujud sahwi sebelum salam. 3. Contoh Keraguan (الشك) dalam Shalat Keraguan adalah kondisi ketika seseorang ragu antara dua hal, seperti tidak yakin apakah sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat. Terdapat dua keadaan: Jika salah satu kemungkinan lebih meyakinkan: Maka ikuti yang lebih kuat menurut sangkaan kuatnya, lanjutkan shalat, dan sujud sahwi setelah salam. Contoh: Ragu antara rakaat ketiga dan keempat, namun merasa lebih yakin itu rakaat ketiga → maka anggap sebagai ketiga, lanjutkan satu rakaat lagi, salam, dan sujud sahwi setelahnya. Jika tidak ada yang lebih meyakinkan: Maka bangun di atas keyakinan, yaitu jumlah yang paling sedikit, dan sujud sahwi sebelum salam. Contoh: Ragu antara rakaat ketiga atau keempat, dan tidak bisa membedakan → anggap sebagai rakaat ketiga, tambah satu rakaat, lalu sujud sahwi sebelum salam. Kapan Sujud Sahwi Dilakukan? Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan: Sujud sahwi dilakukan sebelum salam apabila: Meninggalkan wajib shalat Terjadi keraguan tanpa ada dugaan kuat Sujud sahwi dilakukan setelah salam apabila: Terjadi penambahan dalam shalat Ada keraguan dengan dugaan yang lebih kuat Wallahu a‘lam. Ditulis Oleh: Abu Utsman Surya Huda AprilaReferensi: Majmu‘ Fatawa Syaikh Ibn ‘Utsaimin, jilid 14, hlm. 14–16 https://www.youtube.com/watch?v=A-3qx_kDlJo
CARA BERTAUBAT DARI DOSA GHIBAH
JAKARTA – Cara bertaubat dari dosa ghibah adalah perkara yang penting karena ghibah atau menggunjing termasuk dosa besar yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Tidak cukup hanya dengan istighfar kepada Allah, karena kehormatan manusia yang telah dizalimi juga harus dipertanggungjawabkan. Dua Pendapat Ulama dalam Tobat dari Dosa Ghibah Pendapat Pertama: Cukup dengan Istighfar dan Mendoakan Kebaikan Sebagian ulama berpendapat bahwa kafarat (tebusan) dosa ghibah cukup dengan memohon ampunan kepada Allah dan mendoakan kebaikan untuk orang yang telah digunjing. Ini dianggap sebagai bentuk kebaikan untuk menebus kezaliman yang telah dilakukan. Sebagaimana dalam sebuah hadis Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “كفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لَهُ”. “Kafarat (tebusan) bagi orang yang telah engkau ghibahi adalah engkau memohonkan ampun untuknya.” (HR Al-Harits bin Abu Usamah) Dalam pendapat ini, tidak disyaratkan untuk meminta maaf secara langsung atau memberi tahu orang yang dighibahi. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dikuatkan oleh beberapa ulama besar seperti: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Ibnu Qayyim al-Jauziyah Ibnu Muflih As-Saffarini, serta lainnya. Ibnu Muflih bahkan menukil dari Ibnu Taimiyah bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama. [1] Tiga Alasan Pendukung Pendapat Ini: 1. Memberitahu orang yang dighibahi justru menimbulkan kerusakan baru, karena ia akan merasa lebih tersakiti setelah mengetahui bahwa ia telah digunjing.2. Memberitahukan bisa memicu permusuhan dan dendam, sebab jiwa manusia sulit menahan diri untuk tetap adil dan bijak setelah mengetahui aib dirinya disebarkan.3. Memberitahukan bisa menghilangkan keakraban dan kecintaan, lalu menimbulkan jarak dan permusuhan. Padahal tujuan syariat adalah menjalin kasih sayang dan menyatukan hati, bukan memecah belah. Menurut mereka, kemudaratan yang timbul dari memberi tahu orang yang dighibahi lebih besar dari sekadar dosa ghibah itu sendiri, dan ini bertentangan dengan prinsip syariat Islam تعطيل المفاسد وتقليلها (menghilangkan mafsadah/kerusakan dan meminimalisirnya). Pendapat Kedua untuk Hapus Dosa Ghibah: Wajib Minta Maaf dan Minta Diikhlaskan Pendapat kedua menyatakan bahwa tobat dari dosa ghibah tidak sah kecuali dengan meminta maaf dan keikhlasan dari orang yang dighibahi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari: Imam Abu Hanifah Imam Malik Imam Syafi’i Serta satu riwayat dari Imam Ahmad terkait kasus menuduh orang berzina (qadzf). [2] Ulama yang menguatkan pendapat ini antara lain: Al-Ghazali Al-Qurthubi Imam An-Nawawi dan lainnya. [3] Mereka berdalil dengan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: من كانت عنده مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء، فليتحلل منه اليوم قبل ألا يكون دينار ولا درهم، إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته، وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه “Barangsiapa yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal kehormatan atau sesuatu, maka hendaklah ia meminta dihalalkan darinya hari ini, sebelum datang hari yang tidak ada lagi dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal salih, maka akan diambil darinya sesuai dengan kezalimannya. Jika tidak punya amal salih, maka dosa orang yang dizalimi akan dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari No 2449) Menurut mereka, karena ghibah menyangkut hak manusia, maka dosa ghibah tidak bisa gugur kecuali dengan permintaan maaf dan penghalalan dari pihak yang dizalimi, sebagaimana dalam kasus hutang dan harta. Mereka juga menyatakan bahwa hadits yang menjadi pegangan pendapat pertama adalah hadits palsu dan bertentangan dengan prinsip bahwa hak manusia hanya bisa gugur dengan kerelaan pemiliknya. [4] Pendapat yang Paling Tepat Syaikh Muhammad Bin Sholeh Al-‘Utsaimin memiliki penjelasan dalam hal ini, beliau mengatakan: ولكن فيه قول ثالث وسط ، ولعله الصواب، يقول: إن كان صاحبك الذي اغتبته قد علم بذلك ، فلا بد من أن تذهب إليه وتستحله؛ لأنه لن يزول ما في قلبه حتى تستحله.أما إذا كان لم يعلم فيكفي أن تستغفر له، وأن تثني عليه في المجالس التي كنت تغتابه فيها، والله غفور رحيم “Namun, ada pendapat ketiga yang bersifat pertengahan, dan kemungkinan inilah yang benar. Pendapat ini menyatakan: Jika orang yang engkau ghibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka wajib bagimu untuk mendatanginya dan meminta maaf darinya (meminta kehalalan darinya); karena tidak akan hilang apa yang ada di dalam hatinya kecuali dengan itu. Adapun jika dia tidak mengetahui, maka cukup bagimu untuk memohonkan ampunan untuknya dan memujinya di majelis-majelis yang dahulu engkau mengghibahinya di sana. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [5] Penutup Dosa ghibah bukanlah dosa ringan karena menyangkut kehormatan seorang Muslim. Maka siapa yang pernah terjatuh dalam dosa ini hendaknya segera bertobat dengan serius. Jika memungkinkan dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar, mintalah maaf. Namun jika tidak, cukup dengan memperbanyak doa dan kebaikan untuk orang yang telah digunjing, sebagai bentuk penebus kesalahan. Wallahu a’lam. Ditulis Oleh: Abu Utsman Surya Huda AprilaDiringkas dari kitab Minhatul ‘Allam jilid 10 halaman 305-307 dengan sedikit tambahan [1] Lihat Madarij as-Salikin, jil. 1, hlm. 291, Al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 192, Al-Adab asy-Syar’iyyah, jil. 1, hlm. 62, Ghidha’ al-Albab, jil. 2, hlm. 576.[2] Lihat Madarij as-Salikin, jil. 1, hlm. 290[3] Lihat Ihya’ ‘Ulum ad-Din, jil. 3, hlm. 163, Tafsir al-Qurthubi, jil. 16, hlm. 337, Al-Adzkar, hlm. 548.[4] Lihat: Al-Hawi karya As-Suyuthi, jilid 1, halaman 171.[5] Liqo Bab Maftuh (5/124) https://www.youtube.com/watch?v=7M_MSaYJgHU&t=1s
HUKUM MEMBACA AL-FATIHAH BAGI MAKMUM DALAM SHALAT JAHRIYAH
JAKARTA – Hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum dalam shalat jahriyah menjadi salah satu pembahasan penting dalam fikih shalat. Sebab, Al-Fatihah adalah rukun yang wajib dibaca dalam setiap rakaat, sementara shalat jahriyah seperti Subuh, Maghrib, dan Isya dibacakan keras oleh imam. Maka timbul pertanyaan, apakah makmum wajib membacanya sendiri atau cukup mendengarkan bacaan imam? Para ulama sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian mewajibkan makmum tetap membaca Al-Fatihah meskipun di belakang imam, sementara sebagian lain berpendapat cukup mendengarkan bacaan imam tanpa perlu mengulanginya. Untuk memahami perbedaan ini secara utuh, mari kita lihat dalil-dalil dan penjelasan para ulama, kemudian disimpulkan pendapat yang lebih kuat sekaligus adab dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut. Pendahuluan Membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat merupakan salah satu rukun shalat menurut kesepakatan para ulama. Ini berlaku bagi imam dan orang yang shalat sendirian, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: «لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ» “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah.”(HR. al-Bukhari no. 714) Namun, perbedaan pendapat terjadi dalam hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum di belakang imam dalam shalat jahriyah (shalat dengan bacaan keras seperti Subuh, Maghrib, dan Isya). Pendapat Pertama: Wajib Membaca Al-Fatihah Bagi Makmum Sebagian ulama berpendapat bahwa makmum wajib membaca Al-Fatihah, baik dalam shalat sirriyah (bacaan pelan) maupun jahriyah. Dalil-dalil mereka antara lain: 1. Keumuman sabda Nabi ﷺ: «لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ» “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah.” 2. Hadis dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, bahwa: Rasulullah ﷺ pernah shalat Subuh bersama kami. Beliau merasa berat dalam membaca (Al-Qur’an), lalu bersabda: «إِنِّي لَأَرَاكُمْ تَقْرءَونَ خَلْفَ إِمَامِكُمْ؟» قَالَ: قُلْنَا: أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «فَلَا تَفْعَلُوا إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا» “Sesungguhnya aku melihat kalian membaca di belakang imam kalian?’ Kami menjawab: ‘Benar, wahai Rasulullah.’ Maka beliau bersabda: ‘Jangan kalian lakukan, kecuali dengan Ummul-Qur’an (Surat Al-Fatihah), karena tidak sah shalat bagi siapa yang tidak membacanya.’”(HR. Bukhari di Juz al-Qiroah Khalfal Imam Hal. 61 No. 158) Menurut mereka yang mewajibkan, membaca Al-Fatihah bagi makmum ketika imam berhenti sejenak (saktah), atau setelah imam selesai membaca Al-Fatihah dan sebelum melanjutkan surat berikutnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Makmum diam saat imam membaca, dan membaca Al-Fatihah saat imam berhenti sejenak.” (Fath al-Bari, Jilid 2, Halaman 242) Akan tetapi jika imam tidak diam maka makmum tetap harus membacanya sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah: “Yang dimaksud dengan saktah (diam sejenak) imam adalah diam setelah membaca Al-Fatihah atau di antara ayat-ayat surat setelahnya. Jika imam tidak diam, maka menurut pendapat yang paling kuat, makmum tetap harus membaca Al-Fatihah, meski imam sedang membaca.” (Lihat Fatawa Bin Baz, Jilid 11, hal. 221) Pendapat Kedua: Cukup Mendengarkan Bacaan Imam Pendapat lain menyatakan bahwa mendengarkan bacaan imam sudah cukup, dan tidak wajib membaca Al-Fatihah bagi makmum dalam shalat jahriyah. Dalil mereka: 1. Firman Allah Ta’ala: ﴿وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴾ “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kalian mendapat rahmat. (QS. al-A’raf: 204) 2. Hadis Nabi ﷺ: «وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا» “Jika imam membaca, maka diamlah kalian.”(HR. Muslim No. 404) Pendapat yang Rajih (Lebih Kuat) Komite Fatwa Saudi (Al-Lajnah ad-Daimah) menjelaskan bahwa pendapat yang paling kuat adalah wajibnya membaca Al-Fatihah bagi makmum dan semua: imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian, baik dalam shalat sirriyah maupun jahriyah. Karena dalil yang memerintahkan diam saat dibacakan Al-Qur’an bersifat umum, dan dikhususkan dengan dalil wajibnya membaca Al-Fatihah di dalam shalat. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah No. 5232, Jilid 6, Halaman 386-387) Adab dalam Menyikapi Perbedaan Walaupun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, hal ini tidak boleh menjadi sebab perpecahan dan permusuhan antar sesama muslim. Orang yang mengikuti pendapat imam atau ulama tertentu tidak boleh mencela yang berbeda pandangan, selama masing-masing berlandaskan dalil dan mengikuti metode para ulama. Penutup Masalah membaca Al-Fatihah bagi makmum dalam shalat jahriyah adalah persoalan yang diperselisihkan para ulama. Pendapat yang paling kuat adalah kewajiban membaca Al-Fatihah bagi makmum berdasarkan kekuatan dalil dan pendetailannya. Namun, dalam menyikapi perbedaan ini, umat Islam harus tetap menjaga persatuan dan adab dalam berdiskusi, serta tidak saling menyesatkan. Semoga Allah menunjukkan kita semua kepada kebenaran yang diridhai-Nya. Wallahu A’lam Ditulis Oleh: Abu Utsman Surya Huda AprilaDiringkas dari : https://islamqa.info/ar/answers/10995/قراءة-الفاتحة-في-الصلاة https://www.youtube.com/watch?v=rG9wIfLfEFU&pp=0gcJCccJAYcqIYzv
HUKUM MEMAKAN DAGING BUAYA DALAM ISLAM
JAKARTA – Hukum memakan daging buaya menjadi salah satu persoalan fikih yang sering dipertanyakan, terutama karena buaya termasuk hewan yang hidup di dua alam, darat dan air. Sebagian orang menganggapnya halal karena termasuk hewan air, sementara yang lain mengharamkannya karena memiliki taring seperti hewan buas. Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan para ulama mengenai hukum memakan daging buaya dalam Islam? Masalah ini bukan perkara baru. Sejak masa para ulama salaf, telah terjadi perbedaan pendapat tentang kehalalan hewan-hewan yang hidup di dua alam. Maka, penting bagi kita untuk memahami dalil-dalil dari masing-masing pendapat agar dapat mengambil sikap yang lebih tepat. Berikut penjelasan rinci terkait hukum memakan daging buaya, lengkap dengan pendapat para ulama, dalil dari Al-Qur’an dan sunnah, serta kesimpulan yang lebih hati-hati dalam mengamalkannya. Masalah hukum memakan daging buaya termasuk salah satu persoalan fikih yang diperselisihkan oleh para ulama. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat utama: Pendapat Pertama: Diperbolehkan Memakan Daging Buaya Pendapat ini dianut oleh: Mazhab Malikiyah, Salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’iyah, Salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah. Dalil-Dalil Pendukung 1. Dalil dari Al-Qur’an Firman Allah Ta‘ala: أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan dari laut.”(QS. Al-Ma’idah: 96) Makna dalil:Istilah “buruan laut” (ṣaidu al-baḥr) tidak hanya terbatas pada ikan, tetapi mencakup seluruh hewan laut. Maka segala jenis binatang laut termasuk buaya, hukumnya halal. 2. Dalil dari Sunnah Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: سَأل رَجُلٌ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال: يا رسولَ اللهِ، إنَّا نَركَبُ البحرَ، ونَحمِلُ معنا القليلَ مِنَ الماءِ، فإنْ تَوضَّأْنا به عَطِشْنا، أفنَتَوضَّأُ مِنَ البحرِ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((هو الطَّهورُ ماؤُه، الحِلُّ مَيْتتُه)) “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ: ‘Wahai Rasulullah, kami sering bepergian di laut dan membawa sedikit air. Jika kami gunakan untuk wudhu, kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Air laut itu suci, bangkainya halal.’”(HR. Abu Dawud No. 83 dan At-Tirmidzi No. 69) Makna dalil:Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa bangkai hewan laut halal tanpa membedakan antara jenis ikan atau bukan. Dalam kaidah usul fikih, bentuk tunggal (mufrad) yang disandarkan pada kata ma‘rifah (diketahui) menunjukkan keumuman, sehingga sabda beliau “bangkainya halal” mencakup semua jenis bangkai hewan laut. Pendapat Kedua: Haram Memakan Daging Buaya Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama, yaitu: Mazhab Hanafiyah, Mazhab Syafi’iyah (pendapat yang paling sahih), Mazhab Hanabilah. Dalil Penolakan Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم نَهَى عن أكْلِ كلِّ ذي نابٍ مِنَ السِّباعِ“Rasulullah ﷺ melarang memakan setiap binatang buas yang memiliki taring.”(HR. Bukhari No. 5530 dan Muslim No. 1932) Makna dalil:Buaya termasuk binatang buas yang memiliki taring dan menggunakan taring tersebut untuk memangsa dan menyerang. Maka buaya termasuk dalam keumuman larangan dalam hadis ini, sebagaimana juga diharamkannya memakan hewan buas seperti singa, harimau, dan serigala. Mereka juga berpendapat bahwa buaya bukan hewan air secara mutlak, tapi dia juga hidup di darat sehingga tidak berlaku dalil umum tentang halalnya hewan air. Berkata Ibnu Hajar Al-Haitami: وَمَنْ نَظَرَ لِذَلِكَ فِي تَحْرِيمِ التِّمْسَاحِ فَقَدْ تَسَاهَلَ وَإِنَّمَا الْعِلَّةُ الصَّحِيحَةُ عَيْشُهُ فِي الْبَرِّ “Barang siapa yang menjadikan (taring) itu sebagai alasan untuk mengharamkan buaya, maka ia tidak teliti (kurang tepat dalam berargumen). Sesungguhnya sebab yang benar (dalam mengharamkan buaya) adalah karena buaya hidup di darat.”(Tuhfatul Muhtaj, Jilid 9, Hal. 378) Pendapat yang Lebih Kuat dan Lebih Hati-Hati Wallāhu a‘lam, pendapat jumhur ulama (mayoritas) adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih hati-hati. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Wālīd bin Rasyid as-Sa‘īdān dan Syaikh Abdurahman bin Nashir Al-Barrak, bahwa buaya adalah hewan yang memiliki dua sisi: Sisi kehalalan, karena ia hidup di air, Sisi keharaman, karena ia juga hidup di darat dan bertaring seperti binatang buas. Ketika dua sisi ini bertentangan, maka yang dikedepankan adalah sisi keharamannya. Para ulama menetapkan sebuah kaidah fikih penting: إذا اجتَمَع الحلالُ والحرامُ غُلِّبَ الحرام “Jika halal dan haram berkumpul dalam suatu perkara, maka sisi haramnya yang dikedepankan.” Kesimpulan Dengan mempertimbangkan seluruh dalil dan kaidah, memakan daging buaya dihukumi haram menurut pendapat yang lebih hati-hati dan dipegang oleh jumhur ulama. Kaidah fikih menyatakan bahwa bila terdapat keraguan antara halal dan haram, maka yang dikedepankan adalah keharamannya. Namun demikian, siapa pun yang memilih salah satu dari dua pendapat tersebut hendaknya tetap menjaga adab, tidak memaksakan pendapat, dan senantiasa menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah. Wallāhu a‘lam, semoga Allah Ta‘ala memberi taufik dan petunjuk kepada kita semua. Ditulis Oleh: Abu Utsman Surya Huda Aprila https://www.youtube.com/watch?v=95oNNIF6zJA