JAKARTA – Menyentuh mushaf bukanlah sekadar perkara fisik, melainkan menyangkut adab dan kesucian dalam berinteraksi dengan firman Allah. Banyak kaum muslimin bertanya-tanya: apakah boleh menyentuh mushaf tanpa wudhu? Bagaimana pula hukum bagi anak-anak yang sedang belajar membaca Al-Qur’an? Berikut penjelasan para ulama mengenai hal ini, berdasarkan dalil-dalil yang shahih dan pendapat mayoritas ulama. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah ﷺ, amma ba’du: Pertama: Hukum Menyentuh Mushaf Tanpa Wudhu bagi Orang Dewasa Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya seseorang menyentuh mushaf dalam keadaan tidak suci (tidak berwudhu): 1. Pendapat Pertama:Sebagian ulama membolehkan menyentuh mushaf tanpa wudhu. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dalil yang jelas dan sahih secara eksplisit yang melarang menyentuh mushaf dalam keadaan hadas. Oleh karena itu, hukum asalnya kembali kepada kebolehan dan bebas dari tuntutan hukum syariat. 2. Pendapat Kedua (Mayoritas Ulama):Tidak diperbolehkan menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun besar. Dalilnya adalah hadis dari Amr bin Hazm yang ditulis Rasulullah ﷺ: “ألا يمس القرآن إلا طاهر” “Janganlah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”(HR. Malik dalam Al-Muwaththa 1/199) Istilah “thahir” (suci) dalam hadis ini menurut kebiasaan bahasa syariat merujuk kepada kesucian dari hadas, bukan sekadar kesucian batin. Hal ini diperkuat dengan firman Allah: “مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ” “Allah tidak ingin menyulitkan kalian, tetapi ingin menyucikan kalian.”(QS. Al-Ma’idah: 6) Dan juga firman-Nya: “فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ”“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.”(QS. Al-Baqarah: 222) Pendapat yang menyaratkan wudhu saat menyentuh mushaf adalah pendapat yang lebih kuat, karena lebih sesuai dengan makna kebahasaan dan konteks hukum syariat. Inilah juga pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Kedua: Hukum Anak-anak Menyentuh Mushaf Tanpa Wudhu untuk Belajar Sebagian besar mazhab seperti Hanafiyah, Malikiyah, dan salah satu riwayat dari Hanabilah menyatakan boleh bagi anak-anak menyentuh mushaf atau papan yang bertuliskan ayat Al-Qur’an meskipun belum berwudhu, baik anak tersebut sudah mumayyiz (dapat membedakan yang baik dan buruk) ataupun belum. Di dalam kitab al mausu’ah al fiqhiyyah (37/278-279): Para ulama fikih berpendapat bahwa anak-anak dibolehkan menyentuh mushaf (Al-Qur’an) tanpa berwudhu. Mazhab Hanafiyah:Membolehkan anak-anak menyentuh mushaf atau papan tulis yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an karena kebutuhan untuk belajar dan menghafal Alasannya, anak-anak tidak dikenai beban syariat wudhu, meskipun mereka diperintahkan untuk melakukannya sebagai pendidikan akhlak dan pembiasaan.Imam Malik dalam Al-Mukhtashar berkata:“Saya berharap dibolehkan anak-anak menyentuh mushaf untuk tujuan pembelajaran meski tanpa wudhu.”Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa anak kecil tidak boleh menyentuh mushaf secara keseluruhan, dan ini adalah pendapat Ibnu al-Musayyib. Mazhab Syafi’iyah:Tidak melarang anak-anak mumayyiz (yang sudah bisa membedakan baik dan buruk) untuk menyentuh dan membawa mushaf atau papan bertuliskan ayat Al-Qur’an karena kebutuhan belajar, dan sulitnya menjaga wudhu secara terus-menerus.Imam An-Nawawi berkata:“Dibolehkan bagi anak-anak membawa papan bertuliskan ayat karena kebutuhan dan sulitnya berwudhu untuk itu.” Mazhab Hanabilah:Dalam hal anak-anak di tempat belajar (kuttab) menyentuh papan tulis yang bertuliskan Al-Qur’an, ada dua pendapat:1. Boleh, karena kondisi tersebut merupakan kebutuhan penting, dan jika disyaratkan harus berwudhu akan membuat anak-anak enggan menghafalnya.2. Tidak boleh, sebagaimana dikatakan dalam sebagian riwayat.Dalam kitab Al-Inshaf disebutkan bahwa terdapat dua riwayat terkait hukum anak-anak menyentuh tulisan Al-Qur’an, dan penulis lebih condong kepada riwayat yang membolehkan. Dalam kitab Al-Furu’ disebutkan: “Dalam salah satu riwayat, dibolehkan anak menyentuh papan yang bertuliskan ayat Al-Qur’an.” Ibnu Ruzain berkata:“Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.” Kesimpulan Mayoritas ulama melarang orang dewasa yang tidak suci dari hadas untuk menyentuh mushaf, kecuali dalam keadaan suci. Namun, dalam kasus anak-anak yang belajar Al-Qur’an, maka mayoritas ulama membolehkan mereka menyentuh mushaf atau papan bertuliskan Al-Qur’an meskipun tanpa wudhu, baik sudah mumayyiz maupun belum, karena mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudahan. Inilah pendapat yang lebih memudahkan, dan lebih mendorong generasi muda untuk dekat dan mencintai Al-Qur’an.Wallahu a’lam. Ditulis oleh : Abu Utsman Surya Huda Aprila https://www.youtube.com/watch?v=7M_MSaYJgHU&t=1s
HUKUM BEKERJA DENGAN IJAZAH HASIL MENYONTEK ATAU CURANG
JAKARTA – Dalam kehidupan modern, tidak sedikit orang yang mendapatkan pekerjaan dengan ijazah hasil menyontek. Ini menjadi persoalan penting karena menyangkut kehalalan penghasilan dan kejujuran dalam dunia kerja. Pendahuluan Dalam dunia pendidikan, tidak jarang dijumpai fenomena curang dalam ujian. Hal ini menjadi perhatian serius, terutama ketika hasil dari kecurangan tersebut digunakan untuk memperoleh ijazah dan kemudian dipakai untuk bekerja dan memperoleh penghasilan. Bagaimana pandangan Islam terhadap hal ini? Apakah gaji yang diperoleh dari pekerjaan dengan ijazah hasil menyontek itu halal? Apakah ada pengecualian bagi mereka yang telah bertobat? Di sini kami mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan dalil syar’i dan fatwa ulama. Larangan Ijazah Hasil Menyontek dalam Islam Islam dengan tegas melarang segala bentuk kecurangan, termasuk dalam ujian. Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي“Barang siapa yang berbuat curang, maka ia bukan dari golonganku.”(HR. Muslim no. 102) Kecurangan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah, dan pelakunya termasuk golongan yang terputus dari jalan Rasul ﷺ. Hukum Bekerja dengan Ijazah Hasil Menyontek atau Curang Permasalahan ini perlu dirinci menjadi dua bentuk: 1. Menggunakan Ijazah Palsu (Hasil Beli atau Menyogok tanpa Proses Pendidikan Sah) Hukumnya haram secara mutlak, karena termasuk dusta besar dan pemalsuan. Orang yang menggunakan ijazah palsu dianggap menipu pihak penerima dan hasil kerjanya tidak sah. Penghasilan dari pekerjaan dengan ijazah palsu adalah haram. Wajib baginya bertaubat dan berhenti menggunakan ijazah tersebut. مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي “Barang siapa yang menipu, maka dia bukan termasuk golonganku.”(HR. Muslim no. 102) 2. Ijazah Asli, tetapi Diperoleh dengan Kecurangan (Seperti Menyontek saat Ujian) Adapun jika ijazah hasil menyontek yang digunakan adalah ijazah asli dan resmi, namun dalam proses mendapatkannya pernah terjadi kecurangan (seperti menyontek atau bekerja sama secara tidak jujur dalam ujian), maka hukumnya lebih ringan dibanding kasus pertama. Namun, tetap perlu dipenuhi dua syarat berikut agar diperbolehkan menggunakan ijazah tersebut untuk bekerja: Bertobat dengan sungguh-sungguh dari perbuatan curang yang pernah dilakukan.Memiliki kemampuan nyata, profesional dan amanah dalam menjalankan tugas pekerjaan sesuai bidang ijazah tersebut. Jika dua syarat ini terpenuhi, maka tidak mengapa ia tetap bekerja dengan ijazah tersebut. Karena pada dasarnya, tujuan dari persyaratan ijazah adalah sebagai indikator kemampuan, bukan bukti mutlak. Maka jika seseorang mampu menjalankan pekerjaannya dengan baik, dan telah bertobat dari kesalahan masa lalunya, maka insyaAllah penghasilannya halal. Syaikh Abdul Aziz bin Baz رحمه الله pernah ditanya: “Seseorang bekerja dengan ijazah yang diperoleh dengan menyontek dalam sebagian ujian. Kini ia mampu mengerjakan pekerjaannya dengan baik menurut penilaian atasannya. Apakah gajinya halal?” Beliau menjawab: “Tidak mengapa, insyaAllah. Ia wajib bertaubat kepada Allah dari perbuatan curang yang telah dilakukannya. Selama ia menjalankan pekerjaannya dengan baik sebagaimana mestinya, maka tidak ada masalah dari sisi penghasilannya.”(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 19/31) Penutup Islam adalah agama yang menekankan kejujuran dan amanah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan dan pekerjaan. Ijazah adalah amanah ilmiah yang seharusnya diperoleh dengan cara yang jujur dan adil. Bagi siapa saja yang mendapatkan ijazah hasil menyontek, hendaknya segera bertaubat dengan tulus, menyesali perbuatannya, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri. Jika ia benar-benar memiliki kemampuan dan menjalankan pekerjaannya dengan baik, maka penggunaan ijazah tersebut tetap diperbolehkan, selama bukan ijazah palsu atau hasil pemalsuan total. Namun, jika memungkinkan untuk bekerja dengan ijazah lain yang diperoleh secara jujur, maka itu lebih utama dan lebih selamat bagi agama dan kehormatan diri. Karena meninggalkan syubhat demi menjaga kesucian rezeki adalah sifat orang-orang bertakwa. فَمَنْ تَرَكَ الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ “Barang siapa meninggalkan perkara yang syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.”(HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599) Semoga Allah menerima tobat kita dan memberikan rezeki yang halal dan berkah. Ditulis oleh: Abu Utsman Surya Huda Aprila https://www.youtube.com/watch?v=TuJBtbbaNMQ
APA HUKUM PAKAIAN YANG TERKENA BEKAS OMPOL ANAK YANG SUDAH KERING?
JAKARTA – Ompol anak sering jadi persoalan dalam keseharian orang tua Muslim, khususnya ketika pakaian atau barang-barang terkena najis yang tak kasatmata. Lalu, bagaimana hukumnya jika ompol tersebut sudah kering? Apakah najisnya tetap menempel? Dalam tulisan ini kita bahas secara ringkas berdasarkan kaidah fikih dan penjelasan ulama. Berikut Penjelasan Soal Pakaian yang Terkena Bekas Ompol Anak Meski Sudah Kering 1. Najis Kering Tidak Menular kepada yang Kering Para ulama menjelaskan bahwa jika najis sudah kering, lalu menyentuh benda lain yang juga kering, maka najis tersebut tidak berpindah. Ini adalah kaidah fikih yang disepakati berdasarkan kenyataan indrawi (pengamatan langsung). As-Suyuthi رحمه الله berkata: “قاعدة: قال القمولي في الجواهر: النجس إذا لاقي شيئاً طاهراً وهما جافان لا ينجسه” “Kaidah: Al-Qamuli dalam kitab Al-Jawahir berkata: najis jika menyentuh sesuatu yang suci, dan keduanya dalam keadaan kering, maka tidak menajiskannya.” (Al-Asybah wa An-Nazhair, hal. 432) Jadi, jika ompol anak yang sudah kering menyentuh pakaian lain yang juga kering, maka najisnya tidak berpindah dan pakaian itu tetap suci. 2. Fatwa Ulama Kontemporer Syaikh Abdullah Ibn Jibrin رحمه الله juga pernah ditanya mengenai hal ini, dan beliau menjawab: “لا يضر لمس النجاسة اليابسة بالبدن والثوب اليابس…؛ لأن النجاسة إنما تتعدى مع رطوبتها” “Tidak mengapa menyentuh najis yang kering dengan badan atau pakaian yang juga kering… karena najis itu hanya berpindah ketika dalam keadaan basah.” (Fatawa Islamiyyah, 1/194) Ini memperkuat kaidah bahwa najis kering tidak menular kecuali ada kelembapan yang bisa memindahkannya. 3. Namun, Jika Masih Basah atau Lembap, Najis Bisa Menular Berbeda jika ompol anak masih dalam keadaan basah atau lembap, maka najisnya sangat mungkin berpindah ke benda lain, baik yang basah maupun yang kering. Dalam kondisi ini, pakaian wajib dicuci agar kembali suci. 4. Sunnah Membersihkan Najis dengan Segera Dianjurkan untuk segera membersihkan najis, tidak menundanya sampai mengering. Ini ditunjukkan dalam hadis Anas bin Malik رضي الله عنه: “جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ، أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ، فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ” “Seorang Arab Badui datang lalu kencing di salah satu sisi masjid. Maka orang-orang menegurnya, lalu Nabi ﷺ melarang mereka. Setelah ia selesai kencing, Nabi ﷺ memerintahkan agar disiram dengan seember air.” (HR. Bukhari no. 221) Al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata:“وفيه المبادرة إلى إزالة المفاسد عند زوال المانع”“Dalam hadis ini terdapat pelajaran tentang pentingnya segera menghilangkan hal-hal yang merusak (najis), saat tidak ada penghalang lagi.”(Fath al-Bari, 1/325) Kesimpulan Najis yang sudah kering jika menyentuh benda lain yang juga kering, maka najis tidak berpindah. Namun jika masih basah atau lembap, maka najis bisa menular dan wajib dibersihkan. Disunnahkan untuk segera membersihkan najis agar tidak menyebar ke tempat atau benda lain. Wallāhu a‘lam.Ditulis oleh: Abu Utsman Surya Huda Aprila https://www.youtube.com/watch?v=lwalbN-OTQ8