
JAKARTA – Jimat dari ayat Al-Qur’an masih diyakini sebagian orang mampu melindungi dari gangguan, penyakit, atau kesialan. Mereka beranggapan bahwa karena bersumber dari kalamullah, maka pasti dibolehkan dalam syariat. Namun, benarkah keyakinan ini sesuai dengan dalil yang sahih dan penjelasan para ulama?
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, rahmat bagi seluruh alam, juga kepada keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau hingga Hari Kiamat. Amma ba’du.
Masalah penggunaan jimat (tamimah) yang terbuat dari ayat Al-Qur’an, nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, hadis Nabi ﷺ, atau doa-doa yang dibolehkan telah menjadi perbincangan di kalangan para ulama salaf. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat yang cukup dikenal:
Dua Pendapat di Kalangan Salaf Soal Jimat dari Ayat Al-Qur’an
1. Pendapat yang Membolehkan
Sebagian sahabat seperti Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash dan lainnya membolehkan penggunaan jimat dari ayat Al-Qur’an atau doa-doa yang syar’i. Mereka menafsirkan sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah, jimat, dan tiwalah adalah syirik.” [1]
Mereka memahami bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada jimat yang mengandung unsur syirik, seperti tulisan selain bahasa Arab yang tidak dipahami maknanya atau jimat yang diyakini memiliki kekuatan tersendiri.
2. Pendapat yang Melarang Secara Mutlak Jimat dari Ayat Al-Qur’an
Sebaliknya, sahabat lain seperti Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas serta para pengikut mereka melarang jimat secara mutlak, termasuk jimat dari ayat Al-Qur’an.
Ibrahim An-Nakha’i berkata:
كانوا ـ أي: أصحابُ ابنِ مسعودٍ رضي الله عنه ـ يكرهون التَّمائمَ كُلَّها، مِنَ القرآن وغيرِ القرآن
“Para sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu membenci semua bentuk jimat, baik dari Al-Qur’an maupun selainnya.” [2]
Dan pendapat ini yang lebih kuat dan merupakan pandangan mayoritas ulama, berdasarkan beberapa alasan berikut:
Alasan Kuat Larangan Jimat dari Ayat Al-Qur’an
1. Tidak Diketahui dari Nabi ﷺ
Tidak diketahui bahwa Nabi ﷺ pernah menggantungkan jimat dari ayat Al-Qur’an atau menganjurkan hal tersebut, padahal kebutuhan untuk melindungi diri dari gangguan setan, ‘ain, atau bahaya lainnya sudah ada sejak zaman beliau.
Padahal Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca dan diamalkan, bukan untuk digantung di leher, dinding, atau tempat lainnya. Pelindung yang benar dari gangguan syaitan adalah membaca Al-Qur’an, seperti sabda Nabi ﷺ:
إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، لَنْ يَزَالَ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika engkau berbaring di tempat tidurmu, bacalah Ayat Kursi, maka senantiasa akan ada penjaga dari Allah bersamamu dan syaitan tidak akan mendekatimu hingga pagi.” [3]
2. Termasuk Ibadah yang Tidak Ada Dalilnya
Menggantung jimat dari ayat Al-Qur’an termasuk dalam bentuk permohonan atau isti’adzah, yaitu ibadah, dan hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang membolehkannya.
3. Hadis-Hadis Larangan Bersifat Umum
Hadis-hadis yang melarang jimat datang dengan lafal umum, tidak ada satu pun hadis shahih yang secara tegas mengecualikan jimat dari ayat Al-Qur’an. Maka, hukum umum tidak boleh dikecualikan tanpa dalil khusus.
4. Bersikap Hati-Hati Lebih Selamat
Hukum penggunaan jimat dari ayat Al-Qur’an masih diperselisihkan antara halal dan haram, dan sikap hati-hati (ihtiyath) dalam agama adalah dengan meninggalkan hal yang meragukan, terutama dalam urusan ibadah.
5. Berpotensi Menimbulkan Penghinaan terhadap Al-Qur’an
Jimat dari ayat Al-Qur’an dapat berujung pada penghinaan terhadap kesucian Al-Qur’an, seperti dibawa ke kamar mandi, diletakkan sembarangan, atau dipakai saat tidur dan kegiatan lain yang tidak pantas.
6. Membuka Celah pada Jimat Syirik
Jika dibolehkan jimat dari ayat Al-Qur’an, maka orang-orang yang menyembunyikan jimat syirik dapat bersembunyi di balik klaim bahwa jimat mereka berasal dari Al-Qur’an. Apalagi biasanya jimat dibungkus dan tidak diketahui isinya.
7. Menjadikan Hati Bergantung kepada Jimat
Menggantung jimat akan menyebabkan hati bergantung kepada benda tersebut, sehingga seseorang bisa jadi melalaikan doa, zikir, dan bacaan Al-Qur’an, yang justru merupakan pelindung yang disyariatkan. Ada perbedaan besar antara menyimpan mushaf tanpa dibaca dan orang yang membaca serta mengamalkan isi mushaf.
Kesimpulan
Berdasarkan pertimbangan dalil, kaidah syar’i, dan kehati-hatian dalam akidah, maka pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah:
Wajib meninggalkan penggunaan jimat, baik dari ayat Al-Qur’an maupun selainnya, dan menggantinya dengan ruqyah syar’iyyah, yaitu membaca Al-Qur’an, doa-doa yang diajarkan Nabi ﷺ, dan zikir-zikir yang disyariatkan.
Wallahu A’lam.
Ditulis Oleh: Abu Utsman Surya Huda Aprila
Diringkas dari: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-1332
[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitab Ath-Thibb, Bab Fi Ta‘liq At-Tama’im (no. 3883); Ibnu Majah dalam Kitab Ath-Thibb, Bab Ta‘liq At-Tama’im (no. 3530); dan Ahmad dalam Musnad-nya (no. 3615), dari hadis Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (no. 331, 2972) dan Shahih Al-Jami‘.
[2] Diriwayatkan dengan lafal ini oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (no. 23467).
[3] HR.Al-Bukhari no 5010