SUNNAH-SUNNAH WUDU

SUNNAH-SUNNAH WUDU

JAKARTA – Salah satu bahasan penting dalam fiqih thaharah adalah terkait Sunnah-Sunnah Wudu dan kondisi yang membatalkan wudu atau mewajibkan mandi. Dalam artikel ini dibahas secara ringkas pandangan dari para ulama seperti Ibnu Hazm dan Imam Nawawi, serta riwayat dari kalangan Tabi’in.

Berikut Penjelasan Sunnah-Sunnah Wudu

Al-Imam Abu Syuja’ asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

وَسُنَنُهُ عَشْرُ خِصَالٍ: التَّسْمِيَّةُ، وَغَسْلُ الكَفَّينِ قَبْلَ إِدْخَالِهِمَا الإِنَاءَ، وَالْمَضْمَضَةُ وَالإِسْتِنْشَاقُ، وَاسْتِعَابُ الرَّأْسِ بِالْمَسْحِ، وَمَسْحُ الأُذُنَينِ؛ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا بِمَاءٍ جَدِيدٍ، وَتَخْلِيلُ اللِّحْيَةِ الكَثَّةِ وَتَخْلِيلُ أَصَابِعِ اليَدَينِ وَالرِّجْلَينِ، وَتَقْدِيمُ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى وَالطَّهَارَةُ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، وَالْمُوَالَاوُ.

“Sunnah-sunnah dalam wudu ada sepuluh; (1) membaca basmallah, (2) membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana, (3) berkumur-kumur, (4) menghirup air ke dalam hidung, (5) mengusap seluruh kepala, (6) mengusap telinga; luar beserta dalamnya, (7) menyela-nyela janggut yang tebal, jemari tangan dan kaki, (8) mendahulukan yang kanan daripada yang kiri, (9) bersuci sebanyak tiga kali, (10) berkesinambungan.”

1. Tasmiyah (mengucapkan basmalah)

Sunnah-sunnah wudu dengan membaca basmallah di permulaan wudu, merupakan sunnah yang sangat dianjurkan. Hal ini berdasarkan hadis,

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ، وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تعالى عَلَيهِ.

“Tidak sah salat seseorang jika tanpa berwudu, dan tidak sah wudu seseorang jika tanpa menyebut nama Allah ta’ala.”[1]

Hadis di atas diperselisihkan oleh para ulama, ada sebagian dari mereka yang menilainya dha’iif adapula yang menilainya shahiih. Adapun penafian yang disebutkan dalam redaksi hadis tersebut, maksudnya adalah tidak sempurna. Jadi, maknanya adalah; orang yang tidak mengucapkan bismillah di awal wudu, maka wudunya kurang sempurna, namun tetap sah jika memenuhi rukun-rukunnya.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah termasuk ulama yang berpendapat bahwa hadis di atas derajatnya dha’iif. Beliau mengatakan,

وَجَاءَ فِي التَّسْمِيَّةِ أَحَادِيثُ ضَعِيفَةٌ، وَثَبَتَ عَن أَحمدَ رحمهُ اللهُ، أَنَّه قال: لَا أَعْلَمُ فِي التَّسْمِيَّةِ فِي الوُضُوءِ حَدِيثًا ثَابِتًا.

“Hadis-hadis yang menyebutkan tentang perintah mengucapkan basmallah sebelum berwudu, derajatnya adalah dha’iif. Ada sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa beliau pernah mengatakan, ‘Aku tidak mengetahui adanya hadis shahiih dalam pengucapan basmalah sebelum berwudu.’”[2]

Faedah:

Hadis-hadis shahiih yang menyebutkan tentang tata cara wudunya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak ada yang menyebutkan bahwa beliau membaca basmallah terlebih dahulu sebelum berwudu, sehingga, pendapat yang insya Allah lebih mendekati kebenaran ialah dianjurkan, bukan wajib.

2. Sunnah-Sunnah Wudu Selanjutnya Membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana[3]

Ketika seseorang akan berwudu dengan air yang berada di dalam bejana, hendaknya dia melihat kondisi tangannya, apakah terkena najis atau tidak. Dalam hal ini terdapat dua keadaan:

a. Meyakini bahwa tangannya terkena najis

Keadaan yang seperti ini, maka hukumnya adalah makruuh (dibenci)[4] untuk langsung memasukkan kedua telapak tangan ke dalam bejana, karena bisa merusak sifat air. Dia harus terlebih dahulu mencuci tangannya sebanyak tiga kali dengan air yang berada di luar bejana tersebut.

b. Ragu-ragu

Adapun jika ragu-ragu, apakah tangannya terkena najis atau tidak, seperti halnya orang yang baru bangun tidur, dia tidak mengetahui dengan pasti, apakah tangannya terkena najis atau tidak, maka dia dimakruhkan untuk memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya sebanyak tiga kali.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berikut,

إِذَا اسْتَيقَظَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْرِغْ عَلى يَدِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَ يَدَهُ فِي إِنَائِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِيمَ بَاتَتْ يَدَهُ.

“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaknya dia menuangkan air ke atas tangannya sebanyak tiga kali sebelum ia memasukkannya ke dalam bejana, karena ia tida mengetahui apa yang dilakukan oleh tangannya semalaman.”[5]

3. Berkumur-kumur

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
فَمَضْمَضَ…

“Berkumur-kumur…”[6]

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berpendapat, bahwa air yang dikumur-kumur harus diputar di dalam mulut.[7]

4. Sunnah-Sunnah Wudu dengan Menghirup air ke dalam hidung

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
وَاستَنْشَقَ…

“Berkumur-kumur serta memasukkan air ke dalam hidung…”[8]

Caranya ialah, dengan memasukkan air secara mendalam, kemudian mengeluarkannya secara bersamaan. Adapun jika dalam keadaan berpuasa, maka boleh ditinggalkan[9] atau dilakukannya tanpa menghirup terlalu dalam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang berbunyi,

وَبَالِغْ فِي الاستِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا.

“Bersungguh-sungguhlah engkau dalam ber-istinsyaq (saat berwudu), kecuali ketika engkau sedang berpuasa.”[10]

5. Mengusap seluruh kepala

Dalam mazhab Syafi’i, kepala boleh diusap sebagiannya saja, adapun mengusapnya secara keseluruhan, hukumnya adalah sunnah. Caranya ialah, dengan meletakkan kedua ibu jari di pelipis beserta jari telunjuk (di atasnya), kemudian diusapkan ke belakang dan ke depan sebanyak satu kali.[11] Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu.[12]

Ini berlaku bagi yang memiliki rambut lebat, ia sangat dianjurkan untuk mengusap kepala dari depan ke belakang lalu ke depan lagi. Tujuannya, ialah agar air menyapu seluruh bagian rambut, baik yang dalam maupun luarnya. Adapun yang tidak memiliki rambut atau bagi yang rambutnya tidak bergerak, maka cukup mengusapnya ke belakang satu kali.[13]

Sedangkan bagi orang yang memakai serban, sunnah-sunnah wudu maka diperbolehkan baginya untuk mengusap sebagian kepala dan serbannya, dan yang lebih utama dari itu, minimal dia mengisap ubun-ubunnya,[14] karena demikianlah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.[15]

6. Mengusap telinga; baik luar maupun dalamnya

Sunnah-sunnah wudu yang berikutnya dalam berwudu ialah mengusap telinga. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat yang dibawakan oleh al-Imam al-Hakim, bahwa Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu mengatakan,

رَأَيتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَتَوَضَّأُ، فَأَخَذَ مَاءً لِأُذُنَيهِ خِلَافَ الْمَاءِ الَّذِي مَسَحَ به رَأْسَهُ.

“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berwudu, dan beliau mengusap kedua daun telinganya dengan air yang beliau gunakan untuk mengusap kepala.”[16]

Cara mengusapnya ialah, dengan memasukkan kedua jari telunjuk ke lubang telinga serta memutar keduanya di bagian dalam daun telinga, lalu melintaskan kedua ibu jarinya pada punggung daun telinga.[17]

7. Menyela-nyela janggut yang tebal, jemari tangan dan kaki

Hal ini berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu yang berbunyi,

كَانَ رَسُولُ الله ﷺ إِذَا تَوَضَّأَ عَرَكَ عَارِضَيهِ بَعْضَ العَرْكِ، ثُمَّ شَبَكَ لِحْيَتَهُ بِأَصَابِعِه مِن تَحْتِهَا.

“Bahwasanya dahulu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika berwudu menggosok-gosok pipinya, kemudian menyela-nyela janggutnya yang mulia dengan jemari tangan dari bawah.”[18]

Dalam riwayat lain juga disebutkan, dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ.

“Bahwasanya Nabi shallallahu’alaih wa sallam dahulu (ketika berwudu) menyela-nyela janggutnya.”[19]

8. Sunnah-Sunnah Wudu dengan Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri

Hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ.

“Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan dalam memakai sandal, menyisir, bersuci dan dalam segala aktivitasnya (yang terpuji).”[20]

Dalam riwayat lain juga disebutkan, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,

« إِذَا لَبِسْتُمْ وَإِذَا تَوَضَّأْتُم فَابْدَءُوا بِأَيَامِنِكُمْ! »

“Apabila kalian ingin mengenakan pakaian atau berwudu, maka mulailah dari yang sebelah kanan!”[21]

9. Bersuci sebanyak tiga kali gerakan

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari, bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam pernah berwudu sebanyak satu kali gerakan,[22] atau dua kali gerakan,[23] dan terkadang sampai tiga kali gerakan.[24]
Adapun dalam riwayat Imam Muslim hanya disebutkan tiga kali gerakan.[25]

10. Berkesinambungan

Sunnah yang terakhir ialah berkesinambungan (urut).

Sunnah-sunnah Wudu yang lain

Ada beberapa sunnah-sunnah wudu lainnya yang tidak disebutkan di atas, di antaranya ialah bersiwak dan berdoa setelah wudu.

Dalil bersiwak, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,

« لَولَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُم بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ.

“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak di setiap akan salat.”[26]

Adapun dalil berdoa setelah wudu, ialah hadis dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الوُضُوءَ، ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَن لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ؛ اللّٰهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ، فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِ الجَنَّةِ يَدخُلُ مِن أَيِّهَا شَاءَ.

“Barangsiapa yang berwudhu, kemudian menyempurnakannya, lalu berdoa, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuuluh, allahummaj’alnii minat tawwaabiina waj’alnii minal mutathahhiriin,’[27] maka akan dibukakan baginya delapan pintu surga, dia diperbolehkan memasukinya melalui pintu mana saja yang ia inginkan.”[28]

Selesai. Wallahu a’lam bish showwab.

Ditulis Oleh:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H


[1] HR. Abu Dawud, no. 101. Dinilai shahiih oleh Syekh al-Albani, sedangkan al-Hafiz Abu Thahir menilai hadis ini hasan.
[2] Al-Adzkaar, hal. 33.
[3] Zaman dahulu belum ada air leding, sehingga orang-orang menyimpan persediaan air mereka di dalam bejana atau ember yang besar, wallahu a’lam.
[4] Makruuh di sini maksudnya adalah makruuh tahriim (haram).
[5] HR. Muslim, no. 278.
[6] HR. Al-Bukhari, no. 159.
[7] Kifaayah al-Akhyaar, hal. 23.
[8] HR. Al-Bukhari, no. 159.
[9] Ini adalah pendapat Ibnu Shabagh (Abu Nashr Abu Sayid Muhammad bin Abdul Wahid al-Baghdadi. Beliau termasuk salah seorang ulama besar dari mazhab Syafi’i yang lahir pada tahun 400 H.
[10] HR. Abu Dawud, no. 142, an-Nasa’i, no. 87. Dinilai shahiih oleh Syekh al-Albani dalam Shahiih Sunan an-Nasa’i, no. 85.
[11] Kifaayah al-Akhyaar, hal. 23.
[12] Sudah berlalu redaksi hadisnya. Berikut potongannya:

ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ، ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيهِ.
“…kemudian beliau mengusap kepala dengan kedua telapak tangannya, yaitu dengan mengusapkannya ke depan dan ke belakang. Beliau memulai dari depan kepala, kemudian kedua telapak tangannya mengarah ke belakang, lalu kembali lagi ke tempat semula. Setelah itu, beliau membasuh kedua kakinya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).
[13] Kifaayah al-Akhyaar, hal. 23.
[14] Ibid, hal. 23.
[15] Redaksi hadisnya telah disebutkan. Berikut potongannya:

فَغَسَلَ ذِرَاعَيهِ، وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلى العِمَامَةِ، وعَلى خُفَّيهِ.
“…setelah itu, barulah beliau membasuh kedua tangannya, mengusap ubun-ubunnya, serta mengusap imamah (serban)-nya, dan kedua khufnya.” (HR. Muslim).
[16] HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, no. 1/252, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubraa, no. 1/107. Al-Hakim mengatakan, bahwa hadis ini shahiih sesuai syarat Syaikhaini (Bukhari-Muslim). Lihat: Kifaayah al-Akhyaar, catatan kaki, hal. 24.
[17] Kifaayah al-Akhyaar, hal. 24.
[18] HR. Ibnu Majah, no. 432. Dinilai dha’iif oleh Syekh al-Albani.
[19] HR. At-Tirmidzi, no. 31. Beliau mengatakan bahwa hadis ini hasan shahiih, sementara Syekh al-Albani menilai hadis ini shahiih.
[20] HR. Al-Bukhari, no. 168 dan Muslim, no. 226.
[21] HR. Abu Dawud, no. 4141. Dinilai shahiih oleh Imam Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini dan Syekh al-Albani.
[22] HR. Al-Bukhari, no. 157. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma.
[23] HR. Al-Bukhari, no. 158. Dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu.
[24] HR. Al-Bukhari, no. 159. Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu.
[25] No. 226. Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu.
[26] HR. Al-Bukhari, no. 888. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
[27] Artinya: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk dari hamba-hamba-Mu yang senantiasa bertaubat dan mensucikan diri.”
[28] HR. At-Tirmidzi, no. 55.

Related Posts

  • All Post
  • Doa-Doa
  • Kajian Islam
  • Khotbah Jumat
  • Muamala
  • Tanya Ulama
    •   Back
    • Akhlak
    • Fiqih
    • Hadis
    • Sirah Sahabat
    • Tafsir
    • Umum
    •   Back
    • Allah
    • Malaikat
    • Kitab
    • Rasul
    • Hari kiamat
    • Takdir
    •   Back
    • Sholat
    • Zakat
    • Puasa
    • Haji (Umrah)
    •   Back
    • Rukun Islam
    • Rukun Iman
    • Umum
    • Sholat
    • Zakat
    • Puasa
    • Haji (Umrah)
    • Allah
    • Malaikat
    • Kitab
    • Rasul
    • Hari kiamat
    • Takdir
Edit Template

Yuk Subscribe Kajian Sunnah

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.

Popular Posts

No Posts Found!

Trending Posts

No Posts Found!

© 2024 Kajiansunnah.co.id