
JAKARTA – Cara bertaubat dari dosa ghibah adalah perkara yang penting karena ghibah atau menggunjing termasuk dosa besar yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Tidak cukup hanya dengan istighfar kepada Allah, karena kehormatan manusia yang telah dizalimi juga harus dipertanggungjawabkan.
Dua Pendapat Ulama dalam Tobat dari Dosa Ghibah
Pendapat Pertama: Cukup dengan Istighfar dan Mendoakan Kebaikan
Sebagian ulama berpendapat bahwa kafarat (tebusan) dosa ghibah cukup dengan memohon ampunan kepada Allah dan mendoakan kebaikan untuk orang yang telah digunjing. Ini dianggap sebagai bentuk kebaikan untuk menebus kezaliman yang telah dilakukan.
Sebagaimana dalam sebuah hadis Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
“كفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لَهُ”.
“Kafarat (tebusan) bagi orang yang telah engkau ghibahi adalah engkau memohonkan ampun untuknya.” (HR Al-Harits bin Abu Usamah)
Dalam pendapat ini, tidak disyaratkan untuk meminta maaf secara langsung atau memberi tahu orang yang dighibahi.
Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dikuatkan oleh beberapa ulama besar seperti:
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
- Ibnu Qayyim al-Jauziyah
- Ibnu Muflih
- As-Saffarini, serta lainnya.
Ibnu Muflih bahkan menukil dari Ibnu Taimiyah bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama. [1]
Tiga Alasan Pendukung Pendapat Ini:
1. Memberitahu orang yang dighibahi justru menimbulkan kerusakan baru, karena ia akan merasa lebih tersakiti setelah mengetahui bahwa ia telah digunjing.
2. Memberitahukan bisa memicu permusuhan dan dendam, sebab jiwa manusia sulit menahan diri untuk tetap adil dan bijak setelah mengetahui aib dirinya disebarkan.
3. Memberitahukan bisa menghilangkan keakraban dan kecintaan, lalu menimbulkan jarak dan permusuhan. Padahal tujuan syariat adalah menjalin kasih sayang dan menyatukan hati, bukan memecah belah.
Menurut mereka, kemudaratan yang timbul dari memberi tahu orang yang dighibahi lebih besar dari sekadar dosa ghibah itu sendiri, dan ini bertentangan dengan prinsip syariat Islam تعطيل المفاسد وتقليلها (menghilangkan mafsadah/kerusakan dan meminimalisirnya).
Pendapat Kedua untuk Hapus Dosa Ghibah: Wajib Minta Maaf dan Minta Diikhlaskan
Pendapat kedua menyatakan bahwa tobat dari dosa ghibah tidak sah kecuali dengan meminta maaf dan keikhlasan dari orang yang dighibahi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari:
- Imam Abu Hanifah
- Imam Malik
- Imam Syafi’i
- Serta satu riwayat dari Imam Ahmad terkait kasus menuduh orang berzina (qadzf). [2]
Ulama yang menguatkan pendapat ini antara lain:
- Al-Ghazali
- Al-Qurthubi
- Imam An-Nawawi dan lainnya. [3]
Mereka berdalil dengan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
من كانت عنده مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء، فليتحلل منه اليوم قبل ألا يكون دينار ولا درهم، إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته، وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه
“Barangsiapa yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal kehormatan atau sesuatu, maka hendaklah ia meminta dihalalkan darinya hari ini, sebelum datang hari yang tidak ada lagi dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal salih, maka akan diambil darinya sesuai dengan kezalimannya. Jika tidak punya amal salih, maka dosa orang yang dizalimi akan dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari No 2449)
Menurut mereka, karena ghibah menyangkut hak manusia, maka dosa ghibah tidak bisa gugur kecuali dengan permintaan maaf dan penghalalan dari pihak yang dizalimi, sebagaimana dalam kasus hutang dan harta.
Mereka juga menyatakan bahwa hadits yang menjadi pegangan pendapat pertama adalah hadits palsu dan bertentangan dengan prinsip bahwa hak manusia hanya bisa gugur dengan kerelaan pemiliknya. [4]
Pendapat yang Paling Tepat
Syaikh Muhammad Bin Sholeh Al-‘Utsaimin memiliki penjelasan dalam hal ini, beliau mengatakan:
ولكن فيه قول ثالث وسط ، ولعله الصواب، يقول: إن كان صاحبك الذي اغتبته قد علم بذلك ، فلا بد من أن تذهب إليه وتستحله؛ لأنه لن يزول ما في قلبه حتى تستحله.
أما إذا كان لم يعلم فيكفي أن تستغفر له، وأن تثني عليه في المجالس التي كنت تغتابه فيها، والله غفور رحيم
“Namun, ada pendapat ketiga yang bersifat pertengahan, dan kemungkinan inilah yang benar. Pendapat ini menyatakan: Jika orang yang engkau ghibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka wajib bagimu untuk mendatanginya dan meminta maaf darinya (meminta kehalalan darinya); karena tidak akan hilang apa yang ada di dalam hatinya kecuali dengan itu. Adapun jika dia tidak mengetahui, maka cukup bagimu untuk memohonkan ampunan untuknya dan memujinya di majelis-majelis yang dahulu engkau mengghibahinya di sana. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [5]
Penutup
Dosa ghibah bukanlah dosa ringan karena menyangkut kehormatan seorang Muslim. Maka siapa yang pernah terjatuh dalam dosa ini hendaknya segera bertobat dengan serius. Jika memungkinkan dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar, mintalah maaf. Namun jika tidak, cukup dengan memperbanyak doa dan kebaikan untuk orang yang telah digunjing, sebagai bentuk penebus kesalahan.
Wallahu a’lam.
Ditulis Oleh: Abu Utsman Surya Huda Aprila
Diringkas dari kitab Minhatul ‘Allam jilid 10 halaman 305-307 dengan sedikit tambahan
[1] Lihat Madarij as-Salikin, jil. 1, hlm. 291, Al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 192, Al-Adab asy-Syar’iyyah, jil. 1, hlm. 62, Ghidha’ al-Albab, jil. 2, hlm. 576.
[2] Lihat Madarij as-Salikin, jil. 1, hlm. 290
[3] Lihat Ihya’ ‘Ulum ad-Din, jil. 3, hlm. 163, Tafsir al-Qurthubi, jil. 16, hlm. 337, Al-Adzkar, hlm. 548.
[4] Lihat: Al-Hawi karya As-Suyuthi, jilid 1, halaman 171.
[5] Liqo Bab Maftuh (5/124)