
JAKARTA – Dalam kehidupan modern, tidak sedikit orang yang mendapatkan pekerjaan dengan ijazah hasil menyontek. Ini menjadi persoalan penting karena menyangkut kehalalan penghasilan dan kejujuran dalam dunia kerja.
Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan, tidak jarang dijumpai fenomena curang dalam ujian. Hal ini menjadi perhatian serius, terutama ketika hasil dari kecurangan tersebut digunakan untuk memperoleh ijazah dan kemudian dipakai untuk bekerja dan memperoleh penghasilan.
Bagaimana pandangan Islam terhadap hal ini? Apakah gaji yang diperoleh dari pekerjaan dengan ijazah hasil menyontek itu halal? Apakah ada pengecualian bagi mereka yang telah bertobat? Di sini kami mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan dalil syar’i dan fatwa ulama.
Larangan Ijazah Hasil Menyontek dalam Islam
Islam dengan tegas melarang segala bentuk kecurangan, termasuk dalam ujian. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
“Barang siapa yang berbuat curang, maka ia bukan dari golonganku.”
(HR. Muslim no. 102)
Kecurangan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah, dan pelakunya termasuk golongan yang terputus dari jalan Rasul ﷺ.
Hukum Bekerja dengan Ijazah Hasil Menyontek atau Curang
Permasalahan ini perlu dirinci menjadi dua bentuk:
1. Menggunakan Ijazah Palsu (Hasil Beli atau Menyogok tanpa Proses Pendidikan Sah)
Hukumnya haram secara mutlak, karena termasuk dusta besar dan pemalsuan. Orang yang menggunakan ijazah palsu dianggap menipu pihak penerima dan hasil kerjanya tidak sah. Penghasilan dari pekerjaan dengan ijazah palsu adalah haram. Wajib baginya bertaubat dan berhenti menggunakan ijazah tersebut.
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
“Barang siapa yang menipu, maka dia bukan termasuk golonganku.”
(HR. Muslim no. 102)
2. Ijazah Asli, tetapi Diperoleh dengan Kecurangan (Seperti Menyontek saat Ujian)
Adapun jika ijazah hasil menyontek yang digunakan adalah ijazah asli dan resmi, namun dalam proses mendapatkannya pernah terjadi kecurangan (seperti menyontek atau bekerja sama secara tidak jujur dalam ujian), maka hukumnya lebih ringan dibanding kasus pertama. Namun, tetap perlu dipenuhi dua syarat berikut agar diperbolehkan menggunakan ijazah tersebut untuk bekerja:
Bertobat dengan sungguh-sungguh dari perbuatan curang yang pernah dilakukan.
Memiliki kemampuan nyata, profesional dan amanah dalam menjalankan tugas pekerjaan sesuai bidang ijazah tersebut.
Jika dua syarat ini terpenuhi, maka tidak mengapa ia tetap bekerja dengan ijazah tersebut. Karena pada dasarnya, tujuan dari persyaratan ijazah adalah sebagai indikator kemampuan, bukan bukti mutlak. Maka jika seseorang mampu menjalankan pekerjaannya dengan baik, dan telah bertobat dari kesalahan masa lalunya, maka insyaAllah penghasilannya halal.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz رحمه الله pernah ditanya:
“Seseorang bekerja dengan ijazah yang diperoleh dengan menyontek dalam sebagian ujian. Kini ia mampu mengerjakan pekerjaannya dengan baik menurut penilaian atasannya. Apakah gajinya halal?”
Beliau menjawab:
“Tidak mengapa, insyaAllah. Ia wajib bertaubat kepada Allah dari perbuatan curang yang telah dilakukannya. Selama ia menjalankan pekerjaannya dengan baik sebagaimana mestinya, maka tidak ada masalah dari sisi penghasilannya.”
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 19/31)
Penutup
Islam adalah agama yang menekankan kejujuran dan amanah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan dan pekerjaan. Ijazah adalah amanah ilmiah yang seharusnya diperoleh dengan cara yang jujur dan adil.
Bagi siapa saja yang mendapatkan ijazah hasil menyontek, hendaknya segera bertaubat dengan tulus, menyesali perbuatannya, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri. Jika ia benar-benar memiliki kemampuan dan menjalankan pekerjaannya dengan baik, maka penggunaan ijazah tersebut tetap diperbolehkan, selama bukan ijazah palsu atau hasil pemalsuan total.
Namun, jika memungkinkan untuk bekerja dengan ijazah lain yang diperoleh secara jujur, maka itu lebih utama dan lebih selamat bagi agama dan kehormatan diri. Karena meninggalkan syubhat demi menjaga kesucian rezeki adalah sifat orang-orang bertakwa.
فَمَنْ تَرَكَ الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
“Barang siapa meninggalkan perkara yang syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.”
(HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)
Semoga Allah menerima tobat kita dan memberikan rezeki yang halal dan berkah.
Ditulis oleh: Abu Utsman Surya Huda Aprila