HUKUM MEMAKAN DAGING BUAYA DALAM ISLAM

HUKUM MEMAKAN DAGING BUAYA DALAM ISLAM

JAKARTA – Hukum memakan daging buaya menjadi salah satu persoalan fikih yang sering dipertanyakan, terutama karena buaya termasuk hewan yang hidup di dua alam, darat dan air. Sebagian orang menganggapnya halal karena termasuk hewan air, sementara yang lain mengharamkannya karena memiliki taring seperti hewan buas. Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan para ulama mengenai hukum memakan daging buaya dalam Islam?

Masalah ini bukan perkara baru. Sejak masa para ulama salaf, telah terjadi perbedaan pendapat tentang kehalalan hewan-hewan yang hidup di dua alam. Maka, penting bagi kita untuk memahami dalil-dalil dari masing-masing pendapat agar dapat mengambil sikap yang lebih tepat.

Berikut penjelasan rinci terkait hukum memakan daging buaya, lengkap dengan pendapat para ulama, dalil dari Al-Qur’an dan sunnah, serta kesimpulan yang lebih hati-hati dalam mengamalkannya.

Masalah hukum memakan daging buaya termasuk salah satu persoalan fikih yang diperselisihkan oleh para ulama. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat utama:

Pendapat Pertama: Diperbolehkan Memakan Daging Buaya

Pendapat ini dianut oleh:

  • Mazhab Malikiyah,
  • Salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’iyah,
  • Salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah.

Dalil-Dalil Pendukung

1. Dalil dari Al-Qur’an

Firman Allah Ta‘ala:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan dari laut.”
(QS. Al-Ma’idah: 96)

Makna dalil:
Istilah “buruan laut” (ṣaidu al-baḥr) tidak hanya terbatas pada ikan, tetapi mencakup seluruh hewan laut. Maka segala jenis binatang laut termasuk buaya, hukumnya halal.

2. Dalil dari Sunnah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

سَأل رَجُلٌ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال: يا رسولَ اللهِ، إنَّا نَركَبُ البحرَ، ونَحمِلُ معنا القليلَ مِنَ الماءِ، فإنْ تَوضَّأْنا به عَطِشْنا، أفنَتَوضَّأُ مِنَ البحرِ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((هو الطَّهورُ ماؤُه، الحِلُّ مَيْتتُه))

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ: ‘Wahai Rasulullah, kami sering bepergian di laut dan membawa sedikit air. Jika kami gunakan untuk wudhu, kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Air laut itu suci, bangkainya halal.'”
(HR. Abu Dawud No. 83 dan At-Tirmidzi No. 69)

Makna dalil:
Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa bangkai hewan laut halal tanpa membedakan antara jenis ikan atau bukan. Dalam kaidah usul fikih, bentuk tunggal (mufrad) yang disandarkan pada kata ma‘rifah (diketahui) menunjukkan keumuman, sehingga sabda beliau “bangkainya halal” mencakup semua jenis bangkai hewan laut.

Pendapat Kedua: Haram Memakan Daging Buaya

Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama, yaitu:

  • Mazhab Hanafiyah,
  • Mazhab Syafi’iyah (pendapat yang paling sahih),
  • Mazhab Hanabilah.

Dalil Penolakan

Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم نَهَى عن أكْلِ كلِّ ذي نابٍ مِنَ السِّباعِ
“Rasulullah ﷺ melarang memakan setiap binatang buas yang memiliki taring.”
(HR. Bukhari No. 5530 dan Muslim No. 1932)

Makna dalil:
Buaya termasuk binatang buas yang memiliki taring dan menggunakan taring tersebut untuk memangsa dan menyerang. Maka buaya termasuk dalam keumuman larangan dalam hadis ini, sebagaimana juga diharamkannya memakan hewan buas seperti singa, harimau, dan serigala.

Mereka juga berpendapat bahwa buaya bukan hewan air secara mutlak, tapi dia juga hidup di darat sehingga tidak berlaku dalil umum tentang halalnya hewan air.

Berkata Ibnu Hajar Al-Haitami:

وَمَنْ نَظَرَ لِذَلِكَ فِي تَحْرِيمِ التِّمْسَاحِ فَقَدْ تَسَاهَلَ وَإِنَّمَا الْعِلَّةُ الصَّحِيحَةُ عَيْشُهُ فِي الْبَرِّ

“Barang siapa yang menjadikan (taring) itu sebagai alasan untuk mengharamkan buaya, maka ia tidak teliti (kurang tepat dalam berargumen). Sesungguhnya sebab yang benar (dalam mengharamkan buaya) adalah karena buaya hidup di darat.”
(Tuhfatul Muhtaj, Jilid 9, Hal. 378)

Pendapat yang Lebih Kuat dan Lebih Hati-Hati

Wallāhu a‘lam, pendapat jumhur ulama (mayoritas) adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih hati-hati. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Wālīd bin Rasyid as-Sa‘īdān dan Syaikh Abdurahman bin Nashir Al-Barrak, bahwa buaya adalah hewan yang memiliki dua sisi:

  • Sisi kehalalan, karena ia hidup di air,
  • Sisi keharaman, karena ia juga hidup di darat dan bertaring seperti binatang buas.

Ketika dua sisi ini bertentangan, maka yang dikedepankan adalah sisi keharamannya. Para ulama menetapkan sebuah kaidah fikih penting:

إذا اجتَمَع الحلالُ والحرامُ غُلِّبَ الحرام

“Jika halal dan haram berkumpul dalam suatu perkara, maka sisi haramnya yang dikedepankan.”

Kesimpulan

Dengan mempertimbangkan seluruh dalil dan kaidah, memakan daging buaya dihukumi haram menurut pendapat yang lebih hati-hati dan dipegang oleh jumhur ulama. Kaidah fikih menyatakan bahwa bila terdapat keraguan antara halal dan haram, maka yang dikedepankan adalah keharamannya.

Namun demikian, siapa pun yang memilih salah satu dari dua pendapat tersebut hendaknya tetap menjaga adab, tidak memaksakan pendapat, dan senantiasa menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah.

Wallāhu a‘lam, semoga Allah Ta‘ala memberi taufik dan petunjuk kepada kita semua.

Ditulis Oleh: Abu Utsman Surya Huda Aprila

Related Posts

  • All Post
  • Doa-Doa
  • Kajian Islam
  • Khotbah Jumat
  • Muamala
  • Tanya Ulama
    •   Back
    • Akhlak
    • Fiqih
    • Hadis
    • Sirah Sahabat
    • Tafsir
    • Umum
    •   Back
    • Allah
    • Malaikat
    • Kitab
    • Rasul
    • Hari kiamat
    • Takdir
    •   Back
    • Sholat
    • Zakat
    • Puasa
    • Haji (Umrah)
    •   Back
    • Rukun Islam
    • Rukun Iman
    • Umum
    • Sholat
    • Zakat
    • Puasa
    • Haji (Umrah)
    • Allah
    • Malaikat
    • Kitab
    • Rasul
    • Hari kiamat
    • Takdir
Edit Template

Yuk Subscribe Kajian Sunnah

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.

Popular Posts

No Posts Found!

Trending Posts

No Posts Found!

© 2024 Kajiansunnah.co.id