
JAKARTA – Dalam Islam, terdapat beberapa kondisi yang secara syar’i disebut sebagai Pembatal Wudu, baik yang sering terjadi maupun yang jarang disadari oleh sebagian orang. Dalam artikel ini, akan dijelaskan secara ringkas namun padat mengenai tujuh Pembatal Wudu menurut para ulama. Penjelasan disertai dalil dan pandangan fiqih
Sekurang-kurangnya pembatal wudu itu ada 7 (tujuh):
- Sesuatu yang keluar dari dua jalan kotoran
- Hilang akal
- Menyentuh wanita yang bukan mahram (karena bisa membangkitkan syahwat)
- Menyentuh kemaluan dengan telapak bagian dalam
- Memakan daging unta
- Keluarnya najis dari bagian tubuh selain dua jalan kotoran
- Murtad
Berikut pembahasan secara ringkas pembatal wudu dari poin-poin di atas:
1. Sesuatu yang keluar dari dua jalan
Dua jalan yang dimaksud ialah -maaf- lubang kemaluan depan dan belakang. Segala sesuatu yang keluar dari dua lubang tersebut, maka wudunya batal. Sesuatu yang keluar ini bisa berupa air kencing, mani, madzi, tinja, dan darah haidh. Begitu pula dengan kentut, ia termasuk dari pembatal wudu.
Dalil dari Al-Qur’an yang menyebutkan tentang hal ini, ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala ketika Dia memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk bersuci dari buang hajat apabila hendak menunaikan salat. Allah ta’ala berfirman,
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ … ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak menunaikan salat, maka basuhlah wajah kalian dan kedua tangan kalian sampai siku, kemudian sapulah kepala kalian dan (basuh) kedua kaki kalian sampai ke kedua mata kaki. Apabila kalian junub, maka mandilah. Apabila kalian sakit atau sedang dalam perjalanan jauh, atau setelah buang hajat…,”[1]
Adapun dalil dari hadis, ialah sabda Nabi shallallahu’alaihi wa salam,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَن أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.
“Tidak akan diterima salat seseorang yang berhadas sampai dia berwudu.”
Setelah beliau bersabda demikian, ada seorang laki-laki dari Hadhramaut bertanya pada Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
مَا الحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيرَةَ؟
“Apa yang dimaksud dengan hadas, wahai Abu Hurairah?”
Beliau (Abu Hurairah) menjawab,
فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ.
“Kentut yang tanpa suara maupun yang bersuara.”[2]
Kedua dalil di atas menunjukkan kepada kita, bahwa sesuatu yang keluar dari “lubang depan” maupun “belakang” bisa membatalkan wudu, baik itu berupa najis maupun hadas.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,
دَلَّتِ السُّنَّةُ على الوضُوء مِن الْمَذِي والبَولِ والريحِ وكلِّ ما خرج مِن واحدٍ مِن الفُرُوجِ فَفِيهِ الوُضُوء.
“As-Sunnah menunjukkan wajibnya wudu dikarenakan keluarnya madzi, kencing, kentut, dan segala sesuatu yang keluar dari lubang dubur, maka wajib berwudu.”[3]
2. Hilang akal
Apabila seseorang berwudu, lalu akalnya hilang, maka ini jadi salah satu pembatal wudu. Berikut beberapa kondisi yang menyebabkan hilangnya akal seseorang:
a. Tidur terlalu nyenyak
Ketika seseorang tidur nyenyak, maka dia tidak bisa mengendalikan akalnya, perasaannya dan lisannya. Dalam kondisi yang seperti ini, yaitu tidur yang sampai membuat seseorang tidak mendengar suara di sekelilingnya dan tidak sadar dengan apa yang terjadi di sekitarnya, maka bisa membatalkan wudu. Dalilnya ialah sebuah hadis yang berbunyi,
وِكَاءُ السَّهِ العَينَانِ، فَمَن نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ.
“Tali pengikat dubur adalah mata,[4] barangsiapa yang tidur, hendaklah dia berwudu.”[5]
Berbeda halnya dengan mengantuk atau tidur ringan yang seseorang masih bisa mengendalikan akal dan perasaannya, maka ia tidak membatalkan wudu. Dalilnya ialah hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa ia menceritakan,
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّون وَلَا يَتَوَضَّئُونَ.
“Dahulu para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidur, kemudian menunaikan salat (Subuh berjemaah dengan beliau) tanpa berwudu.”[6]
Catatan: Indikasi kuat bahwa seseorang dikatakan telah tidur pulas, ialah ketika pantatnya terangkat. Namun meski demikian, sangat dianjurkan bagi orang yang tidur pulas ataupun tidak untuk berwudu. Inilah yang disarankan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah, beliau berkata,
يستحب الوضوء من النَّوم وإن كان مُمَكِّنًا مقعده مِن الأَرض، للخروجِ مِن الخِلَاف.
“Sangat dianjurkan untuk berwudu ketika tertidur, meskipun ia (tidur dalam keadaan) memantapkan duduknya ke tanah. Hal ini dianjurkan sebagai bentuk menghindari perbedaan pendapat.”[7]
b. Mabuk
Mabuk merupakan kondisi seseorang kehilangan akalnya. Maka dari itu, seringkali kita lihat banyak orang yang mabuk dia tidak bisa mengendalikan dirinya melakukan hal-hal yang membahayakan masyarakat. Orang yang mabuk dilarang oleh Allah untuk menunaikan salat, hal ini dikarenakan ia dalam keadaan hilang akal. Allah ta’ala berfirman,
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat dalam keadaan mabuk sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan…”
c. Pingsan
d. Gila
Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,
رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ؛ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيقِظَ، وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ.
“Pena catatan amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; (1) orang yang tidur sampai bangun, (2) orang yang gila sampai wara, dan (3) anak kecil sampai baligh.”[8]
3. Menyentuh wanita yang bukan mahram
Pembatal wudu lainnya ialah menyentuh wanita bukan mahram yang bisa membangkitkan syahwat. Dalilnya ialah firman Allah ta’ala ketika Dia memerintahkan hamba-Nya yang sakit, safar, setelah buang hajat dan menyentuh wanita untuk bertayamum jika tidak menemukan air untuk bersuci.
﴿ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ﴾
“Apabila kalian dalam kondisi sakit, atau safar, atau setelah buang hajat, atau menyentuh wanita, kemudian tidak menemukan air untuk bersuci, maka bertayamumlah dengan tanah yang suci. Usaplah wajah dan tangan kalian…”[9]
Ungkapan menyentuh wanita pada ayat di atas disebut beriringan dengan buang hajat dan perintah untuk bertayamum ketika tidak ada air. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan itu termasuk hadas. Sama halnya dengan buang hajat.[10]
Sebagian ulama merinci dan berpendapat; apabila yang tersentuh adalah anggota tubuh yang lumpuh, atau organ tubuh tambahan, maka hukumnya tetap membatalkan wudu. Hal ini berdasarkan ayat tadi. Namun jika yang tersentuh adalah rambut, kuku dan gigi, maka tidak membatalkan wudu, karena anggota tubuh tersebut merupakan sesuatu yang dinikmati dengan indra penglihatan, bukan sentuhan.[11]
4. Menyentuh kemaluan
Pembatal wudu yang lain adalah menyentuh kemaluan, baik miliknya maupun orang lain, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa, kubul maupun dubur. Semuanya bisa membatalkan wudu.
Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berikut,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah dia berwudu!”[12]
5. Memakan daging unta
Dalilnya ialah sebuah hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu’anhu, ia berkata,
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ. قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ…
“Suatu hari pernah ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, ‘Apakah kami harus berwudu setelah memakan daging unta?’ Beliau menjawab, ‘Apabila engkau mau, silakan, jika enggan juga tidak mengapa.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Apakah kami harus berwudu setelah memakan daging unta?’ Beliau menjawab, ‘Iya, apabila engkau memakan daging unta, hendaklah berwudu.’”[13]
6. Keluarnya Najis dari bagian tubuh selain dua jalan kotoran
Sebagian ulama berpendapat, apabila seseorang mengeluarkan nanah atau muntahan atau luka parah sehingga mengeluarkan darah yang banyak dari anggota tubuh selain kubul dan dubur, maka hendaknya dia berwudu.[14]
7. Murtad
Dalilnya ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
﴿ وَمَن يَّكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ ﴾
“Barangsiapa yang kufur terhadap keimanan, sungguh amalannya pasti lenyap.”[15]
Sisi pendalilannya ialah, bahwa setiap hal yang mewajibkan untuk mandi, maka wajib pula untuk berwudu, kecuali mandi bagi mayit.[16]
Ditulis Oleh:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H
[1] QS. Al-Ma’idah: 6. Ayat yang serupa juga disebutkan dalam QS. An-Nisa’: 43.
[2] HR. Al-Bukhari, no. 135. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
[3] Lihat: Kifaayah al-Akhyaar, hal. 33.
[4] Maksudnya: apabila mata terpejam (tidur), maka seseorang tidak bisa mengontrol dirinya. Demikian penjelasan dari Ibnu Sakan.
[5] HR. Abu Dawud, no. 203. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani.
[6] HR. Muslim, no. 376.
[7] Lihat: Kifaayah al-Akhyaar, hal. 34.
[8] HR. Abu Dawud, no. 4399. Dinilai shahiih oleh Syekh al-Albani.
[9] QS. An-Nisa’: 43.
[10] Abu Bakr bin Muhammad asy-Syafi’i, Kifaayah al-Akhyaar, hal. 34.
[11] Ibid, hal.
[12] HR. Abu Dawud, no. 181. Dari sahabiyah Busrah binti Shafwan radhiyallahu’anha.
[13] HR. Muslim, no. 360.
[14] Lihat: Al-Fiqh al-Muyassar, hal. 42.
[15] QS. Al-Ma’idah: 5.
[16] Lihat: Al-Fiqh al-Muyassar, hal. 42.